BLAMBANGANUMPU – Sejumlah petani singkong di wilayah Pakuan Ratu, Negara Batin, dan Negeri Besar kembali melayangkan keluhan terkait ketidakpatuhan pabrik pengolahan singkong terhadap Surat Edaran Gubernur Lampung serta Surat Peringatan Bupati Waykanan mengenai harga dan potongan singkong.
Para petani menilai harga yang diterapkan pabrik masih jauh di bawah standar, sementara potongan (refaksi) dinilai terlalu tinggi dan tidak transparan. Selain itu, sistem buka-tutup pabrik tanpa pemberitahuan jelas semakin mempersulit penjualan hasil panen.
“Harga singkong di beberapa pabrik masih sangat rendah, jauh dari ketentuan dalam surat edaran Gubernur. Kami sangat dirugikan,” ujar Nasir, petani asal Pakuan Ratu.
Keluhan serupa disampaikan Hery, petani lainnya. Menurutnya, potongan timbangan bisa mencapai 40 persen bahkan lebih, tanpa dasar perhitungan yang jelas.
“Alasannya macam-macam, kadang kadar air tinggi, kadang singkong kotor. Tapi kami tidak tahu cara menghitungnya,” ungkapnya.
Selain harga dan potongan, petani juga dirugikan dengan kebijakan buka-tutup pabrik secara mendadak.
“Kami sudah jauh-jauh membawa singkong ke pabrik, tapi ternyata ditutup. Akhirnya kami keluar biaya transportasi lagi untuk mencari pembeli lain dengan harga lebih murah,” keluh seorang petani.
Menyikapi hal itu, petani berharap pemerintah provinsi dan kabupaten segera turun tangan menindak tegas pabrik yang tidak mematuhi aturan.
Mereka juga meminta adanya solusi alternatif agar tidak terus dirugikan oleh praktik yang dianggap merugikan.
Sementara itu, Manager CV Gajah Mada Inter Nusa, Ko Pimping, membenarkan pabriknya telah menutup operasional sejak Selasa (9/9).
Menurutnya, kondisi tersebut terjadi karena pabrik tidak mampu memenuhi tuntutan petani yang meminta potongan hanya 30 persen tanpa memperhitungkan kadar pati.
“Ini jadi dilema bagi pabrik, karena harga jual tapioka di pasar lokal saat ini hanya Rp4.600 per kilogram. Ditambah lagi sulitnya mencari pembeli. Kalau keadaan terus seperti ini tanpa solusi dari pemerintah, bukan tidak mungkin semakin banyak pabrik yang tutup,” jelas Ko Pimping.
Ia menegaskan, pabrik juga membutuhkan perhatian pemerintah.
“Petani dituntut untung, tapi pabrik juga harus diperhatikan soal harga jual tapioka. Kalau ada stabilisasi harga, otomatis kami bisa membeli singkong dengan harga lebih baik. Sekarang karyawan mendesak pabrik buka, sementara kemampuan membeli singkong dengan aturan yang ada tidak memungkinkan,” keluhnya.
Hal senada diungkapkan Manager PT Agung Mulia Bunga Tapioka, Budi Pranata Jati. Ia menilai, kunci dari persoalan ini ada pada penyetabilan harga tapioka di pasar lokal.