Indun menekankan perlunya transparansi dan sistem traceability untuk mengembalikan kepercayaan pasar global. ’’Respons yang cepat dan transparan menjadi hal yang sangat penting untuk mengembalikan citra dan kepercayaan dari pasar global,” jelasnya.
Indun menambahkan, zat Cesium-137 tidak terbentuk alami, melainkan dari aktivitas manusia seperti uji coba senjata nuklir atau kebocoran reaktor. Dengan sifatnya yang bertahan lama, zat ini bisa masuk ke rantai pangan melalui air atau lahan tambak. ’’Siklus alami memungkinkan zat ini menyebar ke lingkungan perairan dan mempengaruhi biota, termasuk udang,” ungkapnya.
Kasus ini juga berdampak pada nelayan dan pembudi daya udang di dalam negeri. Penurunan harga lokal dan pembatasan ekspor dapat merugikan petambak yang sudah mengeluarkan biaya produksi tinggi. ’’Kalau harga turun, kerugian bisa signifikan bagi petambak maupun pembudidaya karena udang membutuhkan biaya produksi yang tinggi,” ujar Indun.
Sebagai solusi jangka panjang, perguruan tinggi berperan penting dalam riset, inovasi, dan penguatan keamanan pangan. UGM, kata Indun, terus mengembangkan riset deteksi cepat serta bioindikator untuk mencegah kontaminasi sejak dini, termasuk lewat pelatihan dan masukan kebijakan.
’’Kontribusi perguruan tinggi penting dalam riset, pengabdian, hingga perumusan kebijakan untuk mencegah kontaminasi pada produk perikanan,” ungkap Indun.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melakukan penelusuran terkait dugaan pencemaran pada udang beku asal Indonesia setelah otoritas AS menemukan indikasi kontaminasi bahan radioaktif Cesium-137.
Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq menjelaskan, hasil pemeriksaan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menunjukkan pabrik pengolahan udang beku berada di Cikande, sementara bahan bakunya berasal dari Lampung.
’’Menteri KKP sudah melakukan kunjungan ke situ dan diindikasi ada sumber-sumber Cesium-137 dari unsur radioaktif yang ditemukan di sana," kata Menteri Hanif seperti dilansir dari Antara, Jumat (22/8).