Saat bertemu, Mahfud meminta Arifin untuk segera mencabut izin dan permintaan itu langsung direspon oleh Menteri ESDM.
Namun Mahfud menyampaikan, menururt Arifin bahwa anak buahnya mengakui jika surat sudah di mejanya, namun kenyataannya surat pencabutan izin tersebut belum dibuatkan.
“Maka hari itu juga Arifin memerintahkan anak buahnya untuk membuat surat tersebut,” ungkap Mahfud.
“Ini berarti ada permainan untuk mengulur waktu pencabutan surat izin penambangan emas tersebut di tingkat pusat yang kewenangannya beralih seperti itu,” paparnya.
Mahfud menyampaikan bahwa ini adalah salah satu bentuk masalah yang harus dihadapi oleh Prabowo dalam menindak pertambangan ilegal.
“Ini baru satu contoh kecil kasus tambang ilegal di Sangihe dan saat ini ada ribuan tambang ilegal yang harus dibereskan oleh Prabowo,” tambahnya.
Mahfud juga menyampaikan bahwa aparat TNI dan Polri disebut-sebut ikut dalam mempermudah kelancaran operasional tambang ilegal tersebut.
Selain itu oknum aparat pemerintahan daerah hingga pusat juga ikut bermain dan ini yang memperkeruh dalam penanganan tambang ilegal.
Dari laporan yang dilansir oleh Greenpeace Indonesia, yang dipublikasikan oleh mangobay bahwa penambangan di Sangihe masih berlanjut meskipun izin telah dicabut.
Dari laporannya, bahwa PT Tambang Mas Sangihe (TMS) melalui dua perusahaan lokal, CV Mahamu Hebat Sejahtera (MHS) dan PT Putra Rimpulaeng Persada (PRP) masih melakukan kegiatan penambangan meskipun izinnya telah dicabut oleh pihak ESDM.
Adapun surat ESDM itu sebagai tindak lanjut Keputusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 650/2023, tentang Pencabutan Izin Peningkatan Operasi Produksi TMS.
Menurut Afdillah Chudiel selaku Ocean Campaigner Greenpeace Indonesia bahwa TMS mengajukan izin baru pada 13 Februari 2025, lewat laman resminya,
Baru Gold, Induk perusahaan TMS, mengumumkan telah mencapai tahap akhir untuk memperoleh izin produksi dari KESDM. “Secara legal itu tidak memenuhi persyaratan," tegasnya.
Kondisi itulah yang menjadi dasar aksi koalisi SSI melayangkan surat ke KESDM, 13 Maret 2025.
Afdillah menyebutkan jika ada beberapa catatan tertuang dalam surat itu, pertama bahwa TMS tidak lagi memiliki izin lingkungan.
Kedua, izin baru akan melanggar Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.