Hadir dalam aksi ini Wakapolres Lampung Utara, Kasat Intelkam Polres Lampura, dan perwakilan dari Kodim 0412/LU.
Dalam orasinya, Syahbudin Hasan menyampaikan bahwa aksi tersebut murni berasal dari keresahan warga yang setiap hari menghadapi dampak buruk lalu lintas truk batu bara.
“Kegiatan ini mutlak dari masyarakat. Kurang lebih sebanyak 300 lebih orang hadir sebagai perwakilan desa untuk menyampaikan keluhan atas kerusakan jalan yang parah, bergelombang, serta bisingnya kendaraan pengangkut batu bara, terutama saat terjadi pecah ban di tengah pemukiman,” tegasnya.
Dia melanjutkan, gerakan ini juga memiliki dasar hukum yang kuat. Dimana, kata dia, masyarakat menuntut penegakan peraturan dan undang-undang terkait angkutan jalan dan pertambangan, antara lain: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 sebagai perubahan atas UU No. 38 Tahun 2004; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
BACA JUGA:Sah, Pemprov Lampung Perpanjang Pemutihan Pajak Kendaraan Motor
Kemudiian, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 sebagai perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara; dan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 19 Tahun 2014 tentang Tata Cara Angkutan Tambang.
Surat Edaran Gubernur Lampung Nomor 045/0228/V.13/2023 yang membatasi standar muatan angkutan batu bara maksimal 8 ton.
Warga berharap agar pemerintah daerah dan Forkopimda Lampung Utara, bersama pemerintah provinsi, segera mengambil tindakan nyata untuk menyelesaikan persoalan ini.
Kerusakan jalan yang parah akibat angkutan batu bara dinilai telah mengganggu aktivitas warga, membahayakan keselamatan, dan merusak fasilitas umum.
Kami berharap pemangku kebijakan bisa memberikan solusi tegas atas keluhan masyarakat. Jika tuntutan ini tidak diindahkan, maka Gerakan Masyarakat Lampung Utara (GEMAS-LU) akan terus melanjutkan aksi hingga ada titik solusi terbaik,” pungkas Syahbudin Hasan.
Aksi damai ini mencerminkan kekompakan warga dalam memperjuangkan hak atas lingkungan yang aman, nyaman, dan infrastruktur yang layak.
Mereka menuntut keadilan atas pelanggaran yang dilakukan oleh armada batu bara yang tak sesuai aturan.
Sebelumnya, Penyelesaian masalah kendaraan over dimension over loading (ODOL) di Lampung harus dilakukan secara sistematis dan komprehensif. Hal ini diungkapkan Aditya Mahatidanar Hidayat, Ph.D., pengamat transportasi dari Universitas Bandar Lampung (UBL).
’’Sebagai pengamat transportasi, saya memandang penyelesaian masalah ODOL harus dilakukan secara sistematis dan komprehensif. Pemerintah harus tegas dalam menghentikan kompromi terhadap kendaraan ODOL," tegas Aditya yang juga sebagai pembina Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Lampung via telepon WhatsApp, Jumat (25/7).
Aditya menilai fenomena truk ODOL tidak hanya menimbulkan kerusakan infrastruktur secara masif. ’’Namun juga mengancam keselamatan pengguna jalan, memperbesar biaya logistik, serta menjadi beban fiskal yang terus berulang bagi pemerintah daerah dan pusat,’’ ujarnya.
Jalan yang baru diperbaiki, kata Aditya, dalam waktu singkat kembali rusak akibat beban kendaraan yang melebihi kapasitas teknis jalan. ’’Kondisi ini merupakan bentuk nyata dari kegagalan tata kelola transportasi angkutan barang lintas wilayah,’’ ungkapnya.