Anggota Bawaslu: Tiga Putusan MK Ubah Arah Demokrasi Elektoral Indonesia

Kamis 17 Jul 2025 - 20:18 WIB
Reporter : Agung Budiarto
Editor : Agung Budiarto


Judul online:
Anggota Bawaslu: Tiga Putusan MK Ubah Arah Demokrasi Elektoral Indonesia

Deskripsi:
Anggota Bawaslu Puadi menyebut tiga putusan MK dari 2023 hingga 2025 berpotensi mengubah desain demokrasi elektoral Indonesia. Ia menilai, putusan-putusan tersebut perlu direspons secara serius oleh penyelenggara pemilu dan partai politik.

Tag:
Bawaslu, Putusan MK, Pemilu 2024, Pilkada, Demokrasi Indonesia, Sistem Pemilu

Longtail keyword:
implikasi putusan MK terhadap sistem pemilu Indonesia 2025

Caption:
Anggota Bawaslu Puadi dalam forum Jaringan Demokrasi Indonesia bertema Transformasi Sistem Pemilu Indonesia, Rabu (16/7), di Bawaslu DKI Jakarta.


Tiga Putusan MK Ubah Arah Demokrasi Elektoral
JAKARTA – Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Puadi menilai tiga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rentang 2023 hingga 2025 memiliki dampak besar terhadap arah dan desain demokrasi elektoral di Indonesia.
Tiga putusan tersebut adalah Putusan No. 114/PUU-XX/2022 tentang Sistem Pemilu Proporsional Terbuka, Putusan No. 135/PUU-XXII/2024 tentang Keserentakan Pemilu dan Pilkada, serta Putusan No. 313/PHPU.BUP-XXIII/2025 tentang Diskualifikasi Kolektif di Pemungutan Suara Ulang (PSU) Barito Utara.
“Putusan-putusan tersebut punya implikasi demokratis, namun juga sarat catatan yang perlu diperhatikan,” kata Puadi dalam forum Jaringan Demokrasi Indonesia bertema “Transformasi Sistem Pemilu Indonesia: Memahami Putusan MK dan Implikasinya bagi Demokrasi”, Rabu (16/7/2025), di Kantor Bawaslu DKI Jakarta.
Puadi menjelaskan, Putusan 114 yang menolak kembali ke sistem proporsional tertutup memperkuat prinsip partisipasi langsung rakyat dalam memilih wakilnya, serta mempererat hubungan antara anggota legislatif dan konstituen.
Namun, ia mengingatkan bahwa sistem terbuka menuntut pengawasan yang lebih ketat terhadap etika kampanye, potensi politik uang, serta transparansi dana politik. “Sistem ini juga memicu kompetisi tidak sehat di internal partai,” ujarnya.
Terkait Putusan MK 135 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada, Puadi menyebut perubahan ini menuntut penyesuaian besar, baik dalam regulasi maupun kesiapan teknis.
“Pertanyaannya, apakah penyelenggara siap menghadapi tantangan logistik, anggaran, dan SDM jika tahapan benar-benar tidak diserentakkan? Ini juga berimplikasi pada netralitas ASN. Bawaslu akan menyesuaikan strategi pengawasan agar tetap efektif,” paparnya.
Sementara itu, Putusan MK 313 yang mendiskualifikasi semua pasangan calon dalam PSU Barito Utara dinilai sebagai terobosan dalam menjaga integritas pemilihan. “Ini preseden penting bahwa pelanggaran serius bisa berdampak kolektif, bukan hanya kepada individu,” tegasnya.
Puadi menekankan pentingnya kesiapan penyelenggara untuk menyesuaikan tahapan dan tata waktu pemilu, penguatan kelembagaan, serta literasi demokrasi bagi pemilih. Ia juga menyoroti peran partai politik dalam kaderisasi, khususnya di sistem proporsional terbuka.
“Partai harus mendidik kader, bukan sekadar merekrut,” tegasnya.
Ia menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa transformasi sistem pemilu bukan sekadar teknis, melainkan bagian dari upaya memperkuat demokrasi yang berintegritas.
“Demokrasi yang baik butuh regulasi yang adil, pengawasan yang kuat, dan rakyat yang melek demokrasi. Putusan MK bukan hanya menafsirkan hukum, tetapi sedang menulis ulang cara kita berdemokrasi,” pungkas Puadi. (bwl/c1/abd)

Tags :
Kategori :

Terkait