Sementara, Disdikbud Bandarlampung pun dibuat geleng-geleng kepala oleh pihak SMP Miftahul Jannah. Pasalnya, sudah tiga kali surat perintah pemberian ijazah ditolak oleh pihak sekolah. Hal ini diakui Plt. Kepala Disdikbud Bandarlampung Eka Afriana melalui Kasi Kurikulum Suharsono saat itu, Senin (27/12/2022). Dia mengaku pihaknya telah berupaya mengirimkan surat perintah pemberian ijazah tersebut melalui beberapa cara. Namun, semua pengiriman surat itu sengaja ditolak oleh pihak sekolah ’’Kami dari Dinas Pendidikan sendiri telah melayangkan surat perintah pemberian ijazah tersebut. Pertama, saya mengirimkan dua staf ke sana dan tidak ada yang menerima. Kedua, karena saya penasaran, jadi saya sendiri yang mengantarnya tetapi tetap tidak mau diterima dengan berbagai macam alasan. Ketiga, saya kirim dengan tanggal yang berbeda melalui Pos Indonesia dan ternyata ditolak juga. Pada Kamis (24/12/2022) lalu dikembalikan ke kami dan diterima oleh staf kami tanpa tahu dasarnya apa,” terangnya, Senin (27/12/22). Menurutnya, sejak awal pihaknya sudah melakukan mediasi. Kemudian melakukan pertemuan dengan DPRD, dilanjutkan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pihak Ombudsman dan Inspektorat pun telah dilibatkan. Mayoritas menyatakan kesalahan ada pada pihak yayasan. ’’Secara korelasi dari kementerian bahwa yayasan ini yang salah. Tidak ada yayasan ikut mengatur dalam kelulusan siswa,” ungkapnya.
Sedangkan terkait dikeluarkannya HRM, siswi Kelas XII SMA IT Miftahul Jannah, pihak sekolah setempat melalui kuasa hukumnya, Ampria Bukhori, mengatakan di antaranya karena yang bersangkutan dinilai telah melakukan pelanggaran berat yang berakibat poin toleransi pelanggarannya habis. Seperti dugaan mencuri uang ustadzah, menggelapkan uang ustad, dan keluar ponpes tanpa izin.
Kemudian walinya, kakek-neneknya, juga diduga melakukan pelanggaran tata tertib memasuki asrama putri tanpa izin dan memaki-maki ustadzah yang ada di asrama. Berdasarkan rapat bersama antara kepala sekolah, wakil kepala kesiswaan, pembina asrama, dan para asatiz, maka mengacu kepada tata tertib pondok memutuskan mengeluarkan santri tersebut dari asrama dan sekolahnya.
Dikatakannya bahwa selama 2 tahun berdasarkan riwayat catatan tata tertib, ia sering melakukan pelanggaran pencurian makanan, pakaian dalam, jilbab, sabun, dan bedak. ’’Tetapi selama ini kami masih menoleransi dengan cara melakukan pembinaan dan pendekatan,” katanya.
Mengenai pengurusan surat pindah dan lain-lain, menurutnya wali santri wajib menyertakan surat pernyataan diterima dari sekolah yang baru untuk dibuatkan surat pindah. Surat pindah akan dibuat oleh kepala sekolah dengan syarat sudah menyelesaikan segala administrasi yang berkaitan dengan masalah keuangan.
Namun, orang tua wali santri yang diwakilkan oleh kakeknya ini menurutnya mempunyai perjanjian kontrak sebagai santri subsidi (santri yang dibantu pembiayaannya oleh yayasan) yakni berupa biaya SPP, biaya peningkatan mutu, dan biaya bangunan dengan syarat siap menjalankan klausul yang tertera dalam perjanjian surat pernyataan. Adapun biaya administrasi santri secara normal/regular dengan rincian bangunan awal masuk Rp5.000.000, daftar ulang per tahun Rp1.000.000, dan SPP Rp850.000 (meliputi uang sekolah, asrama, makan, dan lainnya).
Sedangkan, biaya yang dibayarkan wali santri ini bangunan awal masuk Rp1.000.000, daftar ulang per tahun Rp400.000, dan SPP per bulan Rp250.000. ”Sehubungan dengan pelanggaran yang dilakukan santri tersebut, berdasarkan klausul perjanjian kontrak santri subsidi, maka wali santri yang bersangkutan wajib mengganti semua subsidi yang sudah dikeluarkan yayasan,” jelasnya. (sya/c1/rim)