Nah, ketika pengelolaan sampah oleh pemda tidak optimal yang dilakukan masyarakat adalah mengubur dan membakar sampah. Sisanya baru dibuang. Reza mengatakan, berdasarkan hasil riset yang sudah dilakukan timnya, tidak terlalu banyak sampah yang langsung dibuang ke badan air (sungai, danau, atau laut) antara 2-6 persen. Lebih dari 30 persen dibakar, lebih dari 20 persen dikubur.
BACA JUGA:Hakim Vonis Dukun Cabul Pemeras IRT 10 Tahun Penjara
Kemudian dari sampah yang dibuang langsung ke badan air itu tidak langsung bocor ke laut dalam waktu yang cepat. Dia akan nyangkut di infrastruktur bangunan, gedung, jembatan, terkena akar tumbuhan. Yang bocor ke laut mungkin 2-4 persen saja. ’’Jangankan yang ada di daerah rendah. Yang di hulu sungainya saja, itu sudah penuh duluan sungainya karena tidak ada penjemputan sampah 100 persen ke sana (permukiman di hulu sungai),’’ terangnya.
Dia menemukan fakta di lapangan bahwa banyak orang berpikir: Out of Sight, Out of Mind. Apa yang tidak saya lihat, berarti bersih. Akhirnya mereka lakukan membuang atau membakar atau kubur aja, asalakan sudah tidak terlihat lagi, tanpa mereka tahu itu menimbulkan bahaya. Lain halnya jika fasilitas pengelolaan sampahnya mumpuni, penjemputannya ada.
’’Nah, itu yang membuat kita sudah penduduknya banyak, pengelolaannya nggak optimal, garis pantainya banyak, sampah ini akhirnya menjadi masalah serius,’’ kata dia. ’’Memang benar kalau ada yang bilang Indonesia ini darurat sampah plastik, karena memang nggak ada yang peduli,’’ lanjut Prof. Reza.
Prof. Reza menyatakan, ada tiga pihak yang harus bertanggung jawab. Pertama adalah pemerintah, termasuk pemerintah pusat dan daerah. Kemudian industri. Lalu, masyarakat secara luas.
Pemerintah pusat ingin sampah itu dikelola dengan baik. Tapi di daerah tidak bisa optimal karena anggarannya minim. Padahal idealnya harus sinkron secara keseluruhan karena adanya otonomi daerah. ’’Saya pernah menulis di Science Popular, saya bilang pelayanan dasar di Pemda itu kan ada pendidikan, kesehatan. Seharusnya, urusan pengelolaan sampah itu masuk ke situ juga (pelayanan dasar Pemda, Red),’’ terangnya.
Sampah juga berkaitan dengan kesehatan. Kalau sampah tidak dikelola dengan baik. Minimal ada banyak tikus. Tikus sudah jelas membawa berbagai macam penyakit. Belum kemudian jika berbicara dampak dari mikroplastik dan nanoplastik untuk makhluk hidup. ’’Peneliti juga bisa memberikan policy brief kepada pemerintah, tapi balik lagi, keinginan dari pemerintah maunya seperti apa? Apakah cuma ngomong saja tanpa dilaksanakan atau sebaliknya,’’ ucapnya.
Salah satu materi dalam policy brief kepada pemerintah itu adalah kajian yang menyatakan bahwa ada minimal 11 titik kebocoran sampah dari sungai utama yang ada di Jawa dan Bali. Kalau itu bisa ditutup, 30 persen sampah plastik Indonesia itu berkurang yang bocor ke laut. Itu karena penduduk Jawa dan Bali lebih dari 160 juta orang.
Kajian itu juga menemukan fakta bahwa 7 sungai yang ada di Jakarta, sampahnya lebih kecil 10 kali lipat dibandingkan 1 sungai di Bekasi dan 1 sungai di Tangerang, karena Pemprov DKI punya jaring sampah per 5 sampai 10 km. Tapi itu anggarannya besar. Tidak semua Kabupaten/Kota bisa melakukan itu.
BACA JUGA:Pemkot Bandar Lampung Siap Hemat Anggaran ATK dan Perjas
Jaring sampah belum cukup menahan kebocoran sampah ke laut. Harus dari sumbernya. Pemerintahnya harus punya regulasi yang diimplementasikan dengan baik, industrinya mau mendaur ulang sampah, masyarakat harus lebih sadar dalam melakukan pengolahan sampah, seperti melakukan pemilahan dan lebih bijak dalam konsumsi penggunaan plastik dalam kegiatan mereka. Minimal tiga sektor itu dilakukan.
Kemudian menjemput sampah dan membuat RDF (refused derived fuel/tempat pengelolaan sampah terpadu) buat sarana daur ulang yang nanti dikerjasamakan dengan industri. Jika berbagai itu dilakukan, dia yakin dalam waktu dua tahun, sesuai dengan Rencana Aksi Penanganan Sampah Laut, sampah akan dikelola dengan baik. RDF di Indonesia tidak bisa mengolah semua jenis plastik. Jumlahnya lebih dari 100 tapi belum cukup, karena hanya terfokus di Jawa dan Bali.
Dia pun menyatakan keprihatinannya karena rendahnya pengelolaan sampah di dalam negeri sampai mendapatkan atensi dari orang-orang di luar Indonesia. Nah, salah satu dari warga asing yang peduli dengan lingkungan hidup di Indonesia adalah Benedict Wermter atau biasa dikenal dengan nama Bule Sampah.
Sejak awal kedatangannya ke Indonesia sebagai turis pada 2017, pria yang biasa disapa Beni itu segera mendapati salah satu masalah yang dihadapi negeri yang telah menawan hatinya ini: sampah. Itulah yang kemudian mendorong peneliti, penulis, dan jurnalis investigatif asal Jerman tersebut membuat platform yang menyediakan informasi dan edukasi, khususnya terkait sampah plastik.
Sejak tahun lalu, dia aktif mengedukasi masyarakat Indonesia melalui media sosial dengan nama akun Bule Sampah. Kemudian, dia terjun dalam dunia pengelolaan sampah di Indonesia dengan menjadi co-founder Veritas Indonesia Lingkungan (VEL) bersama Recovered Indonesia (RECO), perusahaan pengolahaan sampah plastik yang fokus di pesisir dan daerah terpencil di Indonesia. ’’Saya ikut terpanggil karena negara-negara barat juga ikut andil membanjiri Indonesia dengan sampah plastik. Jadi saya juga harus ikut peduli,’’ ungkapnya.