Revisi UU HAM Terkendala, Natalius Pigai Akui Baru Rampung 60 Persen

Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menyebut revisi UU HAM masih terganjal minimnya partisipasi lembaga negara dan publik. -FOTO DISWAY -
JAKARTA – Menteri Hak Asasi Manusia (Menham) Natalius Pigai secara terbuka mengakui bahwa pihaknya menghadapi berbagai kendala dalam merampungkan revisi Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU HAM). Hingga awal Juli 2025, draf revisi tersebut baru rampung sekitar 60 persen.
Pernyataan ini mengejutkan publik, mengingat rekam jejak Pigai sebagai tokoh yang selama ini dikenal vokal dan konsisten mengadvokasi isu-isu HAM.
Dalam keterangannya di Kantor Kementerian HAM, Rabu (3/7/2025), Pigai menekankan bahwa proses penyusunan draf memang tidak ditargetkan selesai secara tertutup, karena bagian tersisa akan dibuka untuk partisipasi publik dan lembaga terkait.
“Kami tidak ingin merampungkan 70 atau 80 persen sendirian. Kami menyiapkan 60 persen draf awal, dan sisanya—40 persen—harus dibuka untuk publik,” ujar Pigai.
Pigai menyebut bahwa Kementerian HAM telah meminta masukan dari 25 lembaga negara, termasuk Komnas HAM, Kemenkumham, Kejaksaan Agung, Polri, dan DPR. Namun, hingga saat ini baru lima lembaga yang memberikan respons.
“Baru lima dari 25 lembaga yang merespons. Sisanya masih kami tunggu. Masukan ini penting untuk menyempurnakan 40 persen bagian akhir draf,” jelasnya.
Ia juga menyinggung adanya “resistensi” dan dinamika eksternal yang turut menghambat percepatan penyusunan revisi. Meski tidak merinci, sinyal ini menunjukkan adanya tekanan atau perbedaan pandangan di tingkat antar-lembaga.
Pengakuan Pigai muncul di tengah wacana kontroversial yang sedang ia dorong, yakni memasukkan tindak pidana korupsi sebagai bentuk pelanggaran HAM berat dalam revisi UU tersebut. Gagasan ini sebelumnya juga pernah disuarakan oleh mantan Ketua KPK Firli Bahuri
Wacana tersebut menimbulkan pro dan kontra di masyarakat serta kalangan pengambil kebijakan.
“Meskipun saya tidak bisa memastikan draf ini selesai dalam waktu dekat, komitmen untuk mendorong reformasi HAM tetap ada, termasuk menjadikan korupsi sebagai pelanggaran HAM berat,” tegas Pigai.
Pigai mengakui, melibatkan banyak pemangku kepentingan dalam penyusunan UU HAM bukan hal mudah. Berbagai lembaga memiliki agenda dan kepentingan yang berbeda, sehingga konsolidasi menjadi tantangan tersendiri.
Namun, ia menegaskan bahwa proses reformasi HAM akan terus dijalankan, termasuk membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memberikan masukan.
“Kami terus berupaya membangun konsensus dan mengatasi hambatan yang ada. Dukungan publik sangat kami butuhkan,” tandasnya.
Pernyataan ini menjadi sinyal penting bahwa jalan menuju pembaruan hukum HAM masih panjang dan penuh tantangan. Publik kini menanti, apakah Natalius Pigai dan para pegiat HAM mampu membawa revisi UU HAM ke arah yang lebih progresif dan berpihak pada keadilan. (disway/c1/abd)