Di Balik Air Terjun

-Ilustrasi Freepik-

“Dari akar? Kamu lucu, Sem,” mukaku memerah seketika. “Mau dengar ceritaku? Ini cukup panjang,” tawar anak itu. Tentu aku langsung mengangguk antusias.

“Namaku Haru Kirisaki. Belum lama ini, Tuhan mengambil semua milikku. Dahulu, aku punya keluarga yang amat bahagia. Aku punya seorang adik perempuan kecil yang sangat imut. Belum sempat dia diberi nama, rumahku hancur oleh amukan bumi. Aku berlari ke segala arah dengan adik kecilku yang menangis dalam gendongan. Saat itu aku sedang bermain bunga bersamanya, tapi tiba-tiba, angin berembus kencang sekali. Pohon-pohon mulai tumbang dan rumah-rumah ringsek tak keruan. Aku masih sangat kecil kala itu, jadi, gendonganku sangat lemah dan adikku terlepas begitu saja.

“Dalam kacaunya situasi, aku berlari dan berlindung di bawah pohon ini. Beberapa saat kemudian, tsunami besar melanda tempat ini. Ajaibnya, pohon ini tidak tumbang sama sekali dan tetap berdiri kokoh. Aku selamat dari bencana maha dahsyat itu. Sementara adikku, aku tak pernah tahu kabarnya,” Haru tersenyum getir. “Dia itu suka sekali bunga tsubaki yang mekar di musim semi. Walau dia masih sangat kecil, dia sudah paham akan kecantikan bunga tersebut. Dia selalu tersenyum tiap kali aku datang kepadanya dengan setangkai bunga tsubaki. Karenanya, kuberi dia nama Tsubaki Kirisaki.”

Tak terasa, air mataku sudah banjir. Aku begitu terbawa perasaan hingga menangis terisak-isak. Tapi Haru justru tertawa melihatku. Anak aneh. Setelah aku mendengar ceritanya, kami jadi semakin dekat dan akrab.

Aku yang berumur lima tahun dan masih baru tinggal di desa serta tak kunjung memiliki teman, memutuskan sepihak bahwa Haru adalah teman pertamaku. Aku jadi sering ke tempatnya. Tempat tinggal Haru jauh berbeda denganku. Terkadang, muncul sesuatu berwarna putih dan dingin dari langit—yang langsung kutanyakan pada mama—, mama bilang, itu salju.

Tapi di antara semua musim di tempat tinggal Haru, musim semi adalah yang paling kusukai. Akan ada banyak bunga tsubaki, nanohana, dan pastinya sakura yang mekar di sana. Aku sendiri tidak tahu pasti di mana rumah Haru. Dia lebih sering menghabiskan waktu di bawah pohon wisteria.

Jika musim semi tiba, aku selalu memaksa Haru untuk menemaniku berkeliling. Memutari ladang bunga musim semi tanpa peduli orang-orang yang melihatku selalu memunculkan tatapan aneh.

Hingga di usiaku yang menginjak tujuh tahun, aku masih rutin bertemu Haru. Tidak sesering dulu, memang. Karena sekarang aku sudah memasuki Sekolah Dasar. Mama juga jadi lebih ketat mengawasiku dalam bermain. Saat mama lengah adalah waktu yang tepat pergi menemui Haru. Aku tidak punya teman lain selain Haru, walaupun aku tahu, pertemananku dengan Haru tidaklah normal.

__

Bulan Mei ketiga di desa ini. Tentu musim semi juga sudah tiba di tempat Haru. Dulunya, kami tinggal di kota. Setelah kakek wafat menyusul nenek, rumah ini jadi kosong. Mama lah yang berinisiatif mengajak keluarga pindah ke sini. Papa mengalah, dia rela meninggalkan pekerjaannya dan mencari pekerjaan baru di sini. Aku sendiri, awalnya tidak betah di sini. Sebelum aku bertemu Haru.

Di hari pertamaku sekolah, aku berkenalan dengan Damar. Anak laki-laki berambut jegrak mirip Haru. Bedanya, Haru imut-imut dan Damar amit-amit. Bedanya lagi, Damar belum kudeklarasikan sebagai temanku.

Suatu ketika, kuajak Damar menyelinap ke belakang rumahku. Di hadapan kami, terpampang air terjun beserta sungai dengan aliran jernih sehingga menampakkan beberapa ikan cantik. Mama masih di pasar, dan papa, seperti biasa masih bekerja. Jadi, situasinya cukup aman.

“Hei, Damar,” bisikku di telinganya. “Kamu lihat air terjun di sana?” tunjukku dengan jari.

“Aku nggak lihat apa-apa,” Damar menggaruk betisnya yang bentol. “Pulang aja, yuk, Sem. Ngapain kita di kebon gini, sih? Bisa-bisa aku habis digigit nyamuk.”

Bukan cuma mama dan papa, orang-orang tak ada yang bisa melihatnya. Aku menyerah. Haru dan dunianya, mungkin oleh takdir memang hanya ditujukan untukku. “Pulanglah, Damar.”

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan