Pemenang Pemilu 2024 adalah Plutokrasi

Taufiqurochim--

 

Oleh: Taufiqurochim

Pengacara Publik YLBHI-LBH Surabaya

 

HABIS Gelap Terbitlah Terang. Begitulah surat fenomenal RA Kartini dituliskan. Berbagai manuver tengah mewarnai panggung demokrasi yang memberikan kesan bahwa pemilihan umum (pemilu) tahun ini adalah masa-masa paling gelap. Terhadap sangkaan itu, Mahkamah Konstitusi (MK) dipercaya untuk membuka realitas praktik politik secara terang benderang. Antara harapan atau keprihatinan ada di pembacaan putusan pada 22 April 2024.

Apa pun hasilnya, berbagai tokoh tampaknya tengah memberikan pesan agar rakyat legawa dan meyakini hasil pemilu tahun ini adalah pilihan yang dianggap terbaik untuk rakyat di lima tahun ke depan. Namun, benarkah demikian? Apakah betul hasil Pemilu 2024 akan membawa semangat kekuasaan untuk rakyat? Atau justru sebaliknya bahwa Pemilu 2024 hanyalah instrumen jalan tol bagi kaum plutokrat (plutocrat atau pemilik modal) rakus yang ingin mempertebal kekayaannya dan melanggengkan ketimpangan?

 

Plutokrasi dan Gejalanya

Istilah plutokrasi (plutocracy) bermula dari kata bahasa Yunani plutos (kekayaan) dan kratos (kekuasaan). Sedangkan secara konsep menurut Xenophon dalam Memorabilia, istilah itu digunakan untuk menggambarkan bahwa kekuasaan hanya dikendalikan orang-orang yang memiliki kekayaan. Plutokrasi merupakan prima fatie dari oligarki. Fenomena semacam ini pada abad ke-6 dan 7 SM pernah menjadi topik percakapan oleh para kalangan filsuf Yunani klasik seperti Socrates, Thrasymachus, dan Glaucon. Menurut mereka, sistem model ini tidak adil (Plato: Republic).

Sekuat apa pun pertarungannya, fenomena politik kekuasaan hari ini tak ubahnya akan selalu condong terkesan seperti akrobat Sengkuni dalam memainkan dadu mistisnya melawan Yudistira dan para Pandawa. Secara konteks, selagi dadu itu dilempar, kekuasaan rakyat akan kalah. Plutokrasi tetap menjadi pemenangnya. Praktik plutokrasi sama wujudnya dengan makna kiasan dari otak Sengkuni: jahat dan manipulatif!

Watak jahat kenegaraan plutokrasi kerap ditandai dengan adanya operasi pembungkaman publik melalui skema hukum yang seolah-olah prosedural. Sebagai contoh kasus kriminalisasi terhadap pejuang agraria melawan pemilik modal dan kekuasaan besar. Berdasar catatan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), antara 2014 hingga 2019 terdapat 146 kasus di Pulau Jawa. Sedangkan menurut data yang dihimpun Lembaga Kajian dan Advokasi Masyarakat (Elsam), terdapat 22 kasus pidana antara Januari 2020 hingga April 2020. Apalagi, sepanjang tahun 2019, setidaknya terdapat 27 kasus pejuang agraria yang menjadi sasaran kriminalisasi; kasus ini melibatkan 128 individu dan 50 organisasi kemasyarakatan mengajukan tuntutan hukum. Dari banyaknya kasus tersebut, nyaris semua korban tidak mendapatkan keadilan.

Tentu saja contoh per kasus tidak bisa dijadikan sebagai landasan secara langsung untuk mendeteksi jejaring kaum plutokrat yang memenangkan kepentingannya di kontestasi pemilu. Namun, yang namanya ikan busuk pasti bermula dari kepalanya. Artinya, selagi watak kenegaraan bercap plutokrasi, secara inheren sistem-sistem kekuasaan di bawahnya juga akan mengikuti paradigma kekuasaan di atasnya, yakni hukum hanya ramah kepada pemilik modal.

Sedangkan sifat manipulatif dapat dijumpai melalui proses legalisasi yang ugal-ugalan di sepanjang 2019 hingga 2023. Kaum plutokrat mengamankan kepentingan modalnya dengan membuat paket kebijakan yang penuh kontroversi. Mereka membuat seperangkat kebijakan dengan gaya politik populisme: memberikan proposal bahwa kebijakan yang dibuat adalah atas nama kesejahteraan rakyat. Namun senyatanya, dengan pembuatan produk kebijakan itu, justru banyak kaum buruh yang bersuara keras di atas mobil komandonya. Kaum petani dan nelayan yang merintih dalam keheningannya.

Lantas apa kaitannya antara fenomena politik era rezim Jokowi itu dengan kemenangan plutokrasi dalam Pemilu 2024? Bukankah setiap rezim mempunyai corak tersendiri dan tidak dapat disamakan?

Tag
Share