Pemenang Pemilu 2024 adalah Plutokrasi

Taufiqurochim--
Pertanyaan tersebut di satu sisi bisa benar manakala yang kita potret adalah personal identitasnya. Namun, perlu diingat, dalang dan wayang utama dalam orkestra Pemilu 2024 adalah elite-elite yang sebelumnya satu gerbong dengan rezim Jokowi. Singkatnya, koalisi pengusung Pemilu 2024 sedikit banyak telah berkontribusi dalam membuat paket kebijakan proplutokrat yang sarat dengan ketidakadilan itu.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga mempertegas fenomena hal demikian bahwa elite-elite koalisi dalam Pemilu 2024 tak ubahnya gurita pengusaha tambang dan energi layaknya Pemilu 2019. Katakanlah postur di paslon 01 setidaknya ada 8 orang pemilik modal kelas kakap, di antaranya seperti Surya Paloh, Jusuf Kalla, dan Fachrul Razi. Di paslon 02 terdapat 22 orang, di antaranya seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Erick Thohir, Bahlil Lahadalia, dan Airlangga Hartarto. Sedangkan di kubu paslon 03 ada sekitar 9 orang seperti Sandiaga Uno, Puan Maharani, dan Hary Tanoe.
Rebut Kembali Demokrasi
Pemilu 2024 adalah sandiwara para plutokrat yang tengah memerankan dirinya sebagai demagog ulung. Menjelang Pemilu 2024 digelar, banyak elite pendukung rezim Jokowi yang dulunya menjadi aktor perias citra baiknya, tapi secara tiba-tiba mengutuk praktik watak kenegaraannya. Entah apakah sikapnya merupakan murni bentuk ”tobat massal” atau karena memang karakteristik ”hipokrit” para elite itu sendiri. Tampaknya agak sukar rakyat membedakan itu. Lantas rakyat harus bagaimana?
Di saat demokrasi keterwakilan buah dari teori pemisahan kekuasaan ”Montesquieu” tengah dibajak oleh plutokrat, hanya dengan menciptakan ruang konvergensi rakyat yang bisa dilakukan, yaitu dengan mengokang solidaritas rakyat dari bawah sebagai gerakan perubahan untuk merebut kembali demokrasi dan mengontekstualisasikan perjanjian sosial baru dengan desain kontrol pemerintah demokrasi kolaboratif.
Lex populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) merupakan senyawa dari demokrasi kolaboratif. Sistem ini harus dimaknai bahwa demokrasi tidak hanya menempatkan rakyat sebagai objek pemilu saja. Akan tetapi, mereka harus diposisikan sebagai subjek aktif yang mempunyai hak suara akhir pada pengambil keputusan di setiap isu kebijakan. Melalui skema ini diharapkan rakyat setidak-tidaknya mampu mengendalikan watak arogan dari plutokrasi, kemudian mengembalikan bangsa ini kepada khitah demokrasi. (*)