Golven
-Ilustrasi Hanz Kretzmann/PIXABAY-
"Kamu, kalau jalan pakai mata dong!" bentak perempuan itu yang mulai merapikan kertas-kertasnya.
Amora semakin panik. "Maaf, Bu, saya enggak sengaja," ucap Amora sambil ikut mengumpulkan kertas-kertas tersebut.
Perempuan itu berdiri. "Mor?" panggilnya.
Amora mendongak, ia terkejut mendapati bahwa orang yang ia tabrak adalah Dina, ibu kandungnya. "Mama…."
Dina berdecak pinggang, "Oh... kamu, si anak pembawa sial, ngapain kamu di sini? Mana pakai nabrak saya lagi!" Dina berkata sambil berkacak pinggang, "Sudah jam segini tapi masih di luar, mau jadi apa kamu? Untung kamu sudah saya buang, kalo enggak saya malu punya anak kayak kamu. Kamu bisa hidup sampai sekarang gara-gara ibu saya, ya! Saya dibuang sama ibu saya juga gara-gara kamu!" Dina menunjuk-nunjuk Amora.
Amora berdiri sambil memegang setumpuk kertas tersebut. Namun, ia masih enggan untuk berbicara. Matanya mulai berkaca-kaca. Seluruh badannya semakin bergetar.
Dari ujung sana, seorang laki-laki berkemeja putih tak sengaja mendengar suara kebisingan itu. Karena rasa ingin tahu yang tinggi, laki-laki itu akhirnya menghampiri Dina dan Amora. Namun, ia tak benar-benar menghampiri, hanya sebatas lewat di samping keributan itu.
Kemudian, laki-laki tersebut memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
Sesampainya di tempat keributan antara Dina dan Amora, laki-laki tersebut menghentikan langkahnya.
"Dina," panggil laki-laki itu.
Dina menoleh ke sumber suara, "Kamu. Ngapain di sini?"
Laki-laki itu terdiam.
"Nih, lihat anak kamu! Sudah jadi cewek nakal sekarang! Sudah berani dia keluar malem sendirian," Dina kembali mengomel dan terus menunjuk-nunjuk Amora. "Mau jadi gelandangan kamu, Amora?”
"Dina, stop!" bentak laki-laki itu.
Saat ini mereka telah menjadi pusat perhatian di jalanan. Dina menyadari akan hal itu, tetapi ia mengabaikannya.