Indonesia Emas yang Hijau dan Adil
Kepentingan politik dan ekonomi sering kali membuat pengambil kebijakan kurang bisa mempertimbangkan biaya dan risiko jangka panjang. Dan keputusan politik pun diambil dengan mencanangkannya menjadi sebuah program prioritas nasional yang kemudian didukung oleh perundang-undangan dan regulasi pelaksanaannya. Bisa diramalkan akan terjadi perdebatan yang tajam dan seru tentang apakah pertumbuhan ekonomi bisa dipacu sampai pada kisaran 7% atau tidak.
Jika pertumbuhan ekonomi 7% tetap menjadi prioritas nasional, perlu ditelaah biaya dan konsekuensi yang harus ditanggung. Salah satu sektor perekonomian yang akan menjadi target penggenjotan pertumbuhan ekonomi adalah kehutanan dan pertambangan.
Infrastruktur perundang-undangannya sudah disiapkan dengan UU Cipta Kerja dan revisi UU Mineral yang telah mereduksi standar dan safeguard terhadap lingkungan hidup, meningkatkan luasan lahan serta periode konsesi lahan, serta membuat hubungan tenaga kerja menjadi lebih fleksibel, yang tentu saja memperlemah kekuatan buruh.
Upaya mewujudkan Indonesia Emas bisa jadi akan dipakai sebagai legitimasi untuk meningkatkan laju deforestasi untuk perluasan perkebunan, food estate yang bersifat monokultur, dan pertambangan (terutama bahan-bahan mineral untuk menopang industri baterai kendaraan listrik). Bahkan penebangan hutan untuk membuka lahan bagi produksi renewable energies seperti tenaga matahari yang memerlukan lahan yang luas.
Masih banyak kajian yang harus dilakukan untuk melihat kemungkinan pencapaian Indonesia Emas. Tapi, karena potensi ancaman peningkatan deforestasi di masa yang akan datang, sementara Indonesia sendiri menggalakkan mitigasi perubahan iklim, penting bagi kita saat ini melakukan tindakan preventif pada tataran narasi, yaitu bahwa Indonesia Emas harus hijau.
Sebetulnya narasi hijau saja tidak cukup. Narasi hijau harus disertai dengan narasi adil, yaitu pertumbuhan ekonomi hijau juga harus mempunyai nuansa keadilan buat komunitas. Yaitu melindungi hak-hak mereka, meningkatkan kesejahteraan, dan menurunkan tingkat ketimpangan. Sebab, UUD 45 menyatakan bahwa ”Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”.