Animasi Bing dan Pemerolehan Bahasa Baku
Rizki Febrianti --
Oleh Rizki Febrianti
“Aku bisa, Flop,” kata Bing. “Kau hebat, Bing!” balas Flop.
Kutipan tersebut berasal dari animasi Bing Bunny, animasi serial yang menceritakan pengalaman sehari-hari seorang anak laki-laki bernama Bing dan pengasuhnya, Flop.
Media audiovisual memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan saat ini, begitu juga bagi anak. Mengenalkan kegiatan screentime bagi anak tidaklah sepenuhnya buruk. Ada beberapa dampak positif melakukan screentime pada anak, misalnya anak dapat mengambil nilai-nilai pendidikan, mengenal berbagai emosi, serta mengenal peristiwa sosial.
Salah satu kegiatan screentime yang bisa dilakukan bersama anak adalah menonton animasi. Bing Bunny, misalnya. Salah satu ciri khas animasi Bing adalah penggunaan bahasa Indonesia ragam baku pada setiap dialognya. Selain bahasanya, animasi Bing juga banyak mencontohkan ungkapan emosi, seperti kekaguman, kesedihan, kebahagiaan, dan lain-lain.
Pemerolehan bahasa anak pertama kali berasal dari orang tua. Sayangnya, anak mungkin cenderung mendapatkan paparan bahasa baku ketika telah bersekolah. Hal inilah yang membuat anak harus belajar ekstra untuk memelajari bahasa Indonesia karena adanya perbedaan struktur dan kosakata antara bahasa baku dengan nonbaku. Oleh sebab itu, pengenalan ragam baku pada anak sebaiknya dilakukan sedini mungkin.
Menonton animasi Bing bersama anak membuat kita, para orang tua, tersadar bahwa ada batasan yang tinggi antara penggunaan ragam baku dan nonbaku di Indonesia. Contohnya, karakter dalam animasi Bing menggunakan kata tidak alih-alih nggak untuk menyatakan ketidaksetujuan dan selalu mengawali kalimat tanya dengan mengapa, bagaimana, dan apakah.
Hal tersebut sulit diterapkan dalam percakapan sehari-hari karena kita terbiasa dengan ragam nonbaku. Bing bisa menjadi pilihan tontonan bagi para orang tua untuk mengenalkan penggunaan bahasa baku dalam dialog nyata. Apalagi, animasi Bing memiliki cerita yang ringan dan tidak mengandung high motion.
Namun, perlu menjadi perhatian bahwa screentime tetap membawa dampak negatif bagi anak. Oleh sebab itu, saya menekankan diksi dilakukan bersama anak karena pada dasarnya, screentime harus dilakukan dalam pengawasan orang tua dengan batasan waktu yang jelas. (*)
*) Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2025