Fenomena Kilir Lidah Saat Pidato
Dedy Irawan --
Oleh: Dedy Irawan
Kilir lidah adalah kesalahan pengucapan kata atau suku kata yang terjadi tanpa disengaja karena proses otak dalam merencanakan dan memproduksi ujaran bekerja lebih cepat dari kemampuan alat ucap mengeksekusinya.
Kilir lidah dapat berupa pertukaran bunyi, penambahan, penghilangan, atau pergeseran suku kata dari kata yang dituju, dan sering muncul saat seseorang berbicara di bawah tekanan performa.
Dalam pidato, kilir lidah kerap terjadi pada momen spontan. Contoh nyata terlihat saat pidato publik ketika seorang pembicara bermaksud mengatakan “Reformasi birokrasi harus berorientasi pada transparansi”, tetapi terucap menjadi “Reformansi birorasi harus berorientasi pada transpransi”.
Pada kesempatan lain, ajakan “Mari kita tingkatkan kolaborasi generasi muda” justru terdengar “Mari kita tingkatkan koraborasi generasi muda”. Kekeliruan kecil ini lazim terjadi, terutama pada frasa panjang dengan pola bunyi yang mirip.
Penyebab kilir lidah saat pidato umumnya dipicu gugup, kurang latihan, tempo bicara yang terlalu cepat, kelelahan suara, dan tuntutan otak untuk mengatur isi pesan, intonasi, hingga respons audiens secara bersamaan.
Secara psikolinguistik, ahli bahasa Jean Aitchison menyebut kilir lidah sebagai bukti bahwa produksi bahasa melibatkan perencanaan bertingkat di otak: dari konsep, pilihan kata, hingga pengorganisasian bunyi.
Dampak kilir lidah bersifat ganda. Pada level ringan, audiens menanggapi dengan tawa, yang justru mencairkan suasana dan mengembalikan perhatian. Namun, pada situasi formal dan sensitif, salah ucap berpotensi menurunkan wibawa pembicara, mengganggu alur argumentasi, atau memunculkan salah paham jika kata yang meleset memiliki makna berbeda. Bagi pembicara, efek lanjutannya bisa berupa hilangnya fokus, naiknya kecemasan, atau tempo pidato yang makin tidak stabil sebagai respons kompensasi.
Meskipun tidak dapat dihapus sepenuhnya, kilir lidah dapat ditekan melalui latihan yang cukup, pengaturan ritme, pengendalian napas, serta pemenggalan frasa yang sadar, agar pesan pidato tetap sampai dengan jelas, utuh, dan meyakinkan. (*)
*) Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2025