SPM Tak Cukup Jadi Basis Naikkan Tarif Tol

Temuan KNKT menunjukkan perlunya peningkatan standar keselamatan sebelum tarif tol dinaikkan. --FOTO ANTARA

 

Saat ini pedoman menaikkan tarif tol mengacu pada Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 21/SE/M/2024 tentang Petunjuk Teknis Penyesuaian Tarif Tol. Regulasi ini menegaskan bahwa kenaikan tarif hanya bisa diberlakukan apabila BUJT telah memenuhi SPM sebagaimana tercantum dalam perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT).

 

Evaluasi pemenuhan SPM dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM) dan direkomendasikan kepada Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). Jika ditemukan kekurangan dalam pelayanan, kenaikan tarif otomatis ditunda hingga seluruh persyaratan terpenuhi.

 

Selain faktor SPM, kenaikan tarif juga memperhitungkan tingkat inflasi 2 tahun terakhir berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Nilai inflasi dihitung secara akumulatif dan menjadi dasar dalam rumus penyesuaian tarif, yakni tarif baru = tarif lama × (1 + nilai inflasi).

 

Aturan baru ini juga membuka ruang untuk penyesuaian non-reguler apabila terjadi peningkatan kapasitas jalan, perubahan lingkup usaha, atau kebijakan pemerintah yang memengaruhi kelayakan investasi.

 

Meski lebih transparan, aturan tersebut tetap dinilai belum cukup karena masih menempatkan SPM sebagai satu-satunya acuan kelayakan tarif, tanpa memperhitungkan dimensi keselamatan secara teknis.

 

Sorotan juga datang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota Komisi V DPR Sofwan Dedy Ardyanto menilai sebagian kenaikan tarif pada sejumlah ruas tol tidak berasal dari evaluasi reguler berbasis SPM, melainkan akibat penambahan panjang ruas jalan.

 

“Kenaikan hampir 60% pada beberapa ruas tol bukan karena evaluasi SPM, tetapi penyesuaian akibat perluasan jaringan tol,” ujarnya.

 

Tag
Share