PTSL Dinilai Menyimpang dari Desain Awal
Radar Lampung Baca Koran--
Diketahui sebelumnya, Praktik percaloan ternyata mencuat di tubuh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lampung Selatan. Kasus mangkraknya program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) selama tujuh tahun di Desa Sidoasri, Kecamatan Candipuro, kini menguak dugaan keterlibatan oknum calo berseragam dengan janji pengurusan sertifikat.
Oknum berinisial UD, yang disebut-sebut hanya pegawai honorer di Kantor Pertanahan Lampung Selatan, diduga kuat menjadi perantara antara warga dan BPN.
Dengan alibi membantu mengurus berkas, UD meminta uang dari warga hingga Rp600 ribu per orang. Kini, sertifikat tak kunjung keluar.
Bahkan, program PTSL yang semestinya membantu masyarakat kecil mendapatkan legalitas tanah secara gratis dan transparan, justru berubah menjadi ladang permainan oknum tak bertanggung jawab.
Salah satu warga, ES, bersama 16 warga lainnya, mengaku telah menyerahkan berkas lengkap dan uang kepada UD pada 2018. Mereka berharap sertifikat bisa segera diterbitkan. Tapi hingga kini, bayangan sertifikat pun tak pernah muncul.
“Sudah tujuh tahun kami menunggu. Dulu katanya tinggal menunggu cetak, tapi sampai sekarang tidak jelas. Kalau ditanya, jawabannya selalu ‘masih proses’,” keluh ES kepada Radar Lampung.
Ternyata, warga baru tahu belakangan bahwa UD bukan pegawai tetap BPN, melainkan honorer. Sejak itu, UD menghilang tanpa kabar.
Kepala Kantor ATR/BPN Lampung Selatan, Rizal Rasyuddin, beberapa waktu lalu membenarkan bahwa UD adalah Pegawai Tidak Tetap di BPN Lamsel.
“Saya selaku kepala kantor minta maaf atas nama Kantor Pertanahan. Ini menjadi koreksi buat kami, semoga ke depan pengaduan masyarakat bisa dilayani cepat dan komunikasi tidak terputus,” ujar Rizal.
Ia mengaku telah memanggil pihak-pihak terkait, mulai dari kepala desa, kelompok masyarakat (Pokmas), hingga warga yang mengajukan sertifikat lewat program PTSL 2018 untuk melakukan identifikasi ulang.
Menurut Rizal, pihaknya butuh waktu satu minggu untuk mengumpulkan data-data lama dan mencari dokumen yang hilang.
“Kami akan evaluasi semua berkas. Semangatnya, semua warga yang terdampak akan kami bantu selesaikan,” ujarnya.
Bukan hanya ES, belasan pemohon lain di Desa Sidoasri juga menjadi korban dari sistem pelayanan di BPN Lamsel. Mereka sama-sama menunggu sertifikat yang tak kunjung terbit, padahal sudah menyerahkan semua dokumen sesuai prosedur.
Rizal pun mengakui, kasus ini bukan hanya satu-dua orang. “Yang kami selesaikan bukan hanya satu pemohon, tapi semuanya," katanya.
Meski Rizal enggan menyebut adanya pelanggaran di internal BPN, pernyataannya justru menguatkan dugaan adanya celah yang memungkinkan praktik calo tumbuh di balik meja birokrasi.