Pangan Lokal, Nilai Tambah Petani Modern

M. Syanda Giantara Ali K.M., S.P., M.P-FOTO IST-
Oleh: M. Syanda Giantara Ali K.M., S.P., M.P
BERTEPATAN dengan Hari Tani Nasional 24 September, kita kembali diingatkan pada satu hal sederhana tapi sering terabaikan: kesejahteraan petani. Kita sering bangga menyebut negeri kita lumbung pangan, tapi pertanyaan pentingnya –apakah petani benar-benar sejahtera dengan predikat itu?
Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat Lampung masih jadi produsen singkong terbesar Indonesia. Angkanya mencapai 5,8 juta ton, atau hampir 40 persen dari total nasional.
BACA JUGA:Sektor Perhotelan Anjlok, Turun hingga 40,81 Persen
Kopi robusta Lampung juga termasuk yang terbesar, lebih dari 141 ribu ton dari luas lahan 152 ribu hektare. Pisang? Lampung masuk tiga besar nasional, dengan produksi lebih dari 13,2 juta kuintal. Belum lagi jagung, yang konsisten berada di enam besar nasional.
Deretan angka ini tampak megah, seperti bukti bahwa Lampung benar-benar tanah subur dengan potensi luar biasa. Namun, justru di balik megahnya angka itulah ironi besar terlihat.
Singkong berlimpah, tapi kebanyakan hanya berakhir jadi bahan baku industri tapioka. Jagung menumpuk, tapi lebih sering jadi pakan ternak ketimbang pangan bernilai tinggi. Kopi robusta Lampung kaya rasa, tapi dijual seadanya, tanpa kisah petani di balik secangkir kopi itu.
Pisang pun begitu—produksinya luar biasa, tapi kalah gengsi dibanding produk impor yang dikemas modern dan lebih menarik di mata konsumen muda.
Lalu apa gunanya produksi besar kalau petani tetap hidup pas-pasan? Bukankah ironis ketika tanah kita subur, hasil melimpah, tapi nilai tambahnya selalu dinikmati orang lain?
Masalah utama kita bukan kurang produksi, melainkan cara memperlakukan hasil bumi. Produk lokal kita jarang diberi wajah baru. Padahal, potensi olahannya luar biasa. Singkong bisa jadi brownies mocaf premium yang sehat, bebas gluten, dan bergengsi.
Kopi Lampung bisa tampil dengan kisah petani, budaya, dan cita rasa yang membuatnya punya nilai lebih. Pisang bisa diolah jadi dessert kekinian, minuman modern, bahkan brand kuliner nasional yang lahir dari Lampung.
Kita terlalu lama membiarkan petani berhenti di ujung cangkul, tanpa kesempatan masuk ke ruang-ruang inovasi. Nilai tambah justru diambil pihak lain, atau bahkan hilang sama sekali. Di sinilah letak kuncinya: petani sejahtera bukan karena hasil panen melimpah, tapi karena hasil itu bisa naik kelas.
Beberapa contoh sudah ada di sekitar kita. Keripik singkong Lampung kini menjelma jadi oleh-oleh premium yang dibawa ke mana-mana. Brownies mocaf mulai dilirik sebagai simbol pangan sehat dan modern.
Kopi robusta Lampung perlahan masuk ke kafe-kafe besar, bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta. Pisang pun mulai hadir dalam bentuk camilan beku, keripik manis, hingga dessert kekinian. Bahkan di pusat ibu kota, produk olahan pangan lokal bisa dikemas dengan branding modern, dijual dengan harga berlipat-lipat, dan dikonsumsi generasi muda maupun kelas menengah atas dengan rasa bangga.