Pangan Lokal, Nilai Tambah Petani Modern

M. Syanda Giantara Ali K.M., S.P., M.P-FOTO IST-
Semua itu memberi pelajaran penting: kalau diberi sentuhan modern, pangan lokal bisa punya gengsi, bisa diminati, dan bisa mengangkat martabat petani.
Hari Tani Nasional seharusnya bukan hanya jadi agenda seremonial, tapi momentum refleksi. Petani tidak cukup hanya diberi akses pasar. Mereka butuh ruang untuk berinovasi, akses teknologi, dan dukungan pengolahan agar produk mereka naik kelas.
Pemerintah bisa berperan lewat insentif, regulasi yang berpihak, dan fasilitasi industri kecil. Akademisi bisa hadir dengan riset dan pendampingan. Industri bisa menyokong dari sisi pengemasan dan pemasaran. UMKM harus berani berkreasi. Dan konsumen muda? Mereka memegang peran penting sebagai penentu tren.
Jika anak muda bisa bangga membeli kopi robusta Lampung di kafe modern, atau memilih brownies mocaf dibanding camilan impor, itu artinya ada pergeseran budaya konsumsi. Dan pergeseran itu bukan sekadar gaya hidup, tapi kunci kedaulatan pangan. Karena pangan bukan hanya soal perut kenyang, tapi juga soal harga diri.
Mari kita mulai dari hal kecil. Di rumah, kita bisa menyajikan produk pangan lokal sebagai menu sehari-hari, bukan sekadar pelengkap. Di kantor, kita bisa mendorong penggunaan snack lokal yang dikemas modern, sebagai bentuk dukungan nyata pada UMKM petani. Di lingkungan sekitar, kita bisa ikut memberi motivasi agar petani tidak berhenti di produksi, tapi juga melangkah ke pengolahan.
Petani sejahtera bukan karena tanah subur semata, tapi karena hasilnya kita muliakan. Hari Tani Nasional adalah pengingat bahwa kedaulatan pangan hanya bisa terwujud kalau produk lokal diberi nilai tambah, diberi ruang gengsi, dan diberi tempat di hati generasi muda. (*)
*) Alumni Magister Agronomi Universitas Lampung, anggota Ikaperta Unila