Fikih Teknologi Dibahas dalam Pengajian Al Kautsar

fikih teknologi dibahas dalam pengajian al kautsar respons terhadap dinamika ekonomi digital   bandarlampung - yayasan al kautsar melalui pengajian al kautsar lampung (kalam) kembali menggelar pengajian. pengajian kali ini mengangkat materi fikih teknologi. para guru dan karyawan al kautsar hadir dalam kegiatan pengajian tersebut.   materi fikih teknologi menjadi pembahasan utama dengan fokus pada hukum produk dan aktivitas ekonomi berbasis digital, mulai dari e commerce, e wallet, judi online, hingga pinjaman online.   ketua yayasan al kautsar wagiso mengajak para peserta untuk meluruskan niat. "hadir di pengajian bukan sekadar rutinitas, melainkan mencari ridho allah dan meningkatkan kualitas ilmu agar ibadah kita makin mendekatkan diri kepada allah," katanya.   pengajian dengan materi fikih teknologi ini, kata wagiso, menjadi salah satu wujud respons lembaga pendidikan islam terhadap dinamika ekonomi digital. ’’hakl ini agar guru dan karyawan tidak sekadar sebagai pengguna teknologi, tapi paham implikasi syariah dari setiap produk digital,’’ ungkapnya.    sedangkan dewan pengawas syariah dsn mui dr. hi. abdul aziz, s.h., m.pd.i. sebagai pemateri menyampaikan pandangan keagamaan atas fenomena ekonomi digital. dalam paparannya, terdapat dua syarat penting dalam menetapkan hukum suatu perkara. pertama, fahmul waqi (memahami realitas), memahami teknis, sistem, dan konteks produk digital. kedua, fahmun nuṣus (memahami nash/teks syari) merujuk alquran, hadis, dan prinsip syariah.   ’’dua ini harus terpenuhi, baru kita bisa menghukumi sesuatu itu halal, haram, atau remang-remang,” tegas abdul aziz.   abdul aziz menekankan bahwa teknologi itu tergolong ke dalam muamalah (interaksi sosial/ekonomi), bukan ibadah mahdhah, sehingga hukum asalnya mubah (boleh) kecuali ada dalil syariah yang melarangnya.    abdul aziz memberikan contoh, jika seseorang menguasai ilmu coding dan menggunakannya untuk kemajuan dakwah al kautsar, itu bernilai ibadah. ’’namun, jika coding digunakan untuk meretas dan mencuri dana bank, hukumnya haram,’’ tegasnya.   adapun transaksi digital, abdul aziz menyebutkan rukun jual-beli klasik tetap harus terpenuhi. ’’ada penjual dan pembeli, objek barang atau jasa, harga, pembayaran, serta ijab qabul. namun, jual-beli online rentan gharar (ketidakpastian) atau penipuan jika tidak ada informasi jelas atau legalitas platform,’’ ujarnya.   abdul aziz mengingatkan agar masyarakat mengecek legalitas marketplace sebelum bertransaksi. "bila marketplace tidak berizin atau tidak transparan, ada potensi pelanggaran syariah," jelasnya.   mengenai pembayaran via dompet digital (e wallet), abdul aziz menekankan bahwa jika sistemnya jelas, transparan, dan tidak mengandung unsur riba atau penipuan, secara prinsip bisa diterima selama akad dan syaratnya sesuai syariah.   abdul aziz juga menyebut bahwa banyak ulama menganggap produk kripto (misalnya bitcoin) haram, karena unsur gharar yang tinggi, ketiadaan kepastian kepemilikan, regulasi, dan entitas penanggung jawab yang jelas.    menurut abdul aziz, belum ada kripto yang mendapat status halal dari mui karena semua itu belum memenuhi syarat syariah.   sedangkan untuk pinjaman online, abdul aziz membedakan antara qardh ḥasan (pinjaman tanpa bunga untuk kebutuhan pokok) yang boleh memakai akad tabarru dengan akad muawadhah (pinjaman berorientasi keuntungan) yang boleh mengambil keuntungan jika akadnya adil dan transparan. ’’misalnya, jika seseorang meminjam untuk membeli mobil, pemberi pinjaman boleh mengambil keuntungan dalam batas wajar selama akadnya jelas,’’ katanya.   abdul aziz juga menekankan pentingnya hak khiyar (hak pembatalan/peninjauan ulang transaksi) dalam jual-beli digital. ’’sistem seperti cod (cash on delivery) dianggap membantu menjaga hak khiyar pembeli untuk memeriksa barang dahulu,’’ ungkapnya. (*)  

Tag

Share

• 
• 
• 
• 
•