Banleg DPR Hapus Wacana BPIP Menilai Indeks Ideologi Pancasila

Banleg DPR RI menghapus rencana pemberian kewenangan BPIP untuk menilai indeks ideologi Pancasila, diganti dengan fungsi monitoring dan evaluasi. -FOTO IST -

JAKARTA - Badan Legislasi (Banleg) DPR RI memutuskan untuk menghapus klausul terkait kewenangan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam menilai indeks penerapan ideologi Pancasila di lembaga negara maupun masyarakat.
Keputusan itu diambil saat pembahasan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang BPIP di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin 29 September 2025.
Wakil Ketua Baleg DPR RI, Ahmad Iman Sukri, menjelaskan bahwa pasal mengenai indeks ideologi sempat menjadi sorotan dalam rapat Panitia Kerja (Panja).
Menurutnya, jika tetap dipertahankan, pasal tersebut bisa menimbulkan kesan seolah-olah BPIP memiliki kewenangan menilai lembaga manapun.
“Alternatif yang diambil lebih moderat. Jadi bukan indeks lagi, melainkan berbentuk monitoring dan evaluasi,” ujar Iman saat memimpin rapat.
Dalam rancangan awal, Pasal 12 Ayat 1 menyebutkan BPIP berwenang menilai indeks hasil pembinaan ideologi Pancasila setiap tahun terhadap penyelenggara negara, badan hukum, badan usaha, dan masyarakat.
Namun, setelah revisi, bunyinya diubah menjadi: “BPIP melakukan monitoring dan evaluasi pembinaan ideologi Pancasila yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara, badan hukum, badan usaha, dan masyarakat.”
Iman menegaskan, perubahan ini dilakukan agar BPIP tidak dipersepsikan sebagai alat kekuasaan untuk menekan pihak tertentu. Ia juga menyebut BPIP menerima penghapusan klausul tersebut dengan sikap terbuka.
Selain itu, Baleg juga memasukkan usulan agar BPIP ditingkatkan statusnya menjadi lembaga setingkat kementerian, berada langsung di bawah Presiden, serta bertanggung jawab kepada Kepala Negara.
“Usulan ini datang dari Prof. Jimly, agar fungsi BPIP semakin kuat jika kedudukannya setara menteri,” jelas Iman.
Sementara itu, Anggota Baleg DPR RI, Hinca Panjaitan, menilai penilaian indeks ideologi akan sulit diterapkan. Ia mendukung opsi monitoring dan evaluasi karena dianggap lebih realistis dan adaptif.
“Monitoring dan evaluasi inilah yang menjadi sarana yang kita sepakati dalam undang-undang ini,” kata Hinca.
Ia menambahkan, substansi pelaksanaan monitoring dan evaluasi nantinya dapat diserahkan kepada BPIP agar dapat mengikuti dinamika perkembangan zaman.
“Dengan begitu, saat rapat bersama BPIP, proses dialog dan pengawasan bisa lebih mudah dilakukan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi XIII DPR RI Ahmad Basarah menyoroti urgensi percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Ia menilai lembaga strategis tersebut harus memiliki payung hukum yang lebih kuat untuk menjalankan tugasnya.
Hal itu disampaikan Basarah saat menjadi narasumber ahli dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI terkait RUU Pembinaan Ideologi Pancasila di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (18/9/2025).
“Pembangunan mental ideologi bangsa adalah tugas penting negara. Pancasila itu ibarat roh bangsa, sehingga harus disosialisasikan melalui lembaga yang sah,” ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang tersebut.
Menurutnya, Pancasila sebagai dasar negara, ideologi pemersatu, dan cita hukum bangsa harus dibumikan ke seluruh lapisan masyarakat melalui lembaga resmi. Ia mencontohkan, mulai dari organisasi masyarakat, perguruan tinggi, dunia usaha, hingga lembaga negara.
Saat ini, BPIP hanya berlandaskan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018. Basarah menilai dasar hukum tersebut terlalu lemah untuk lembaga yang memegang peran strategis. “Bayangkan, Kwarnas Pramuka saja sudah punya undang-undang, Perpustakaan Nasional pun punya undang-undang. Masa lembaga pembinaan ideologi bangsa hanya berpayung Perpres,” tegasnya.
Ia menjelaskan, berbeda dengan KPK atau Ombudsman yang dibentuk melalui undang-undang, BPIP sudah terlebih dahulu hadir lewat Perpres. Karena itu, RUU BPIP hanya akan memperkuat kedudukan hukum (legal standing) agar lebih kokoh.
Dengan payung hukum undang-undang, kata Basarah, BPIP akan memiliki legitimasi politik hukum yang lebih kuat karena disahkan bersama DPR dan pemerintah. Hal itu juga menjamin keberlanjutan pembinaan ideologi Pancasila tanpa bergantung pada pergantian pemerintahan.
“Legal standing BPIP harus dinaikkan menjadi undang-undang. Ini bentuk konkret politik hukum negara sekaligus komitmen bersama DPR dan pemerintah dalam menjaga Pancasila,” pungkasnya.
Badan Legislasi (Banleg) DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) guna membahas penyusunan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP).
Sejumlah pakar diundang untuk memberikan masukan agar beleid tersebut relevan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan mendukung ketahanan negara.
Rapat yang dipimpin Ketua Banleg DPR RI Bob Hasan itu menghadirkan pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie dan tokoh moderasi beragama yang juga mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
“Forum ini bertujuan untuk menghimpun pandangan dari para ahli, baik berupa data maupun perspektif, supaya RUU BPIP nantinya benar-benar menjawab tantangan penerapan nilai-nilai Pancasila,” kata Bob Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Ia menjelaskan, selain mendengar masukan, rapat juga menjadi ruang untuk memetakan berbagai persoalan di lapangan serta merumuskan solusi agar pelaksanaan pembinaan ideologi Pancasila berjalan optimal.
“Intinya, kebutuhan masyarakat dan negara menjadi prioritas. Pada akhirnya, ini untuk memperkuat ketahanan nasional,” ujarnya.
Bob menambahkan, Banleg DPR akan memaksimalkan waktu pembahasan agar RUU BPIP bisa rampung di tingkat I secepatnya. Namun, ia memastikan prosesnya tetap dilakukan secara mendalam.
“Percepatan bukan berarti terburu-buru. Setelah konsinyering nanti malam, kami akan lanjutkan sampai benar-benar matang di tahap pertama, lalu pembahasan tingkat II akan kami dalami kembali,” jelasnya. (ant/c1/abd)

Tag
Share