Bukan Pengganti, tapi Partner: AI dalam Industri Kreatif

Gigih Yora Pratama, M.I.Kom.--

Oleh: Gigih Yora Pratama, M.I.Kom. (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Lampung)

BEBERAPA tahun lalu, dunia digital marketing identik dengan tim besar. Satu kampanye bisa melibatkan fotografer, videografer, penulis naskah, hingga CGI artist yang tarifnya tidak murah. 

Membuat konten bukan hanya soal kreativitas, tetapi juga soal anggaran besar yang harus digelontorkan untuk membayar para tenaga kreatif. Namun, pemandangan itu kini berubah drastis.

Kehadiran kecerdasan buatan (AI) membuat “studio besar” berpindah ke layar laptop. 

Efek visual yang dulunya membutuhkan software rumit dan tenaga CGI artist, kini bisa dihasilkan oleh seorang marketer dengan satu klik. Video berlatar pemandangan futuristik, karakter 3D, hingga simulasi pergerakan manusia—semuanya dapat lahir dari instruksi sederhana.

Transformasi ini kerap menimbulkan pertanyaan: apakah AI akan menjadi ancaman bagi para pekerja kreatif? Pandangan semacam ini memang wajar, sebab setiap teknologi baru selalu memunculkan rasa was-was. 

Namun, melihat perkembangan yang terjadi, justru semakin jelas bahwa AI bukanlah pengganti, melainkan partner bagi manusia.

AI hadir untuk mempercepat eksekusi ide, bukan mengambil alih kreativitas. Konsep, strategi, dan rasa tetap berada di tangan manusia. Kreator tetap memegang kendali: menentukan alur cerita, memilih gaya visual, hingga meramu pesan yang sesuai dengan audiens. 

AI hanya membantu membuka kemungkinan baru, menghadirkan peluang untuk bereksperimen tanpa batas dan dengan biaya yang jauh lebih rendah.

Tren di sejumlah creative agency di Jakarta menunjukkan hal yang sama. AI membuat produksi konten lebih cepat dan low cost.

 Proses yang dulunya butuh berminggu-minggu kini bisa dipangkas menjadi hitungan hari. Meskipun demikian, para praktisi menegaskan bahwa sentuhan manusia tetap mutlak diperlukan. AI bisa menghasilkan visual, tetapi menentukan nuansa, menyusun narasi, dan meramu strategi komunikasi tetaplah pekerjaan manusia. Konsekuensinya, efisiensi yang tinggi ini sering beriringan dengan pengurangan pegawai.

Lebih jauh, ada hal yang sering terlewat: menggunakan AI tetap membutuhkan dasar ilmu kreatif. Fotografi, videografi, storytelling, dan desain grafis memberikan fondasi penting bagi seseorang dalam menyusun prompt. 

Orang yang memahami komposisi, pencahayaan, atau estetika visual akan mampu menuliskan instruksi yang lebih tajam, sehingga hasil AI lebih berkualitas. Sebaliknya, tanpa dasar pengetahuan itu, prompt sering kali menghasilkan karya yang datar, tidak proporsional, atau kehilangan konteks.

Bagi pelaku usaha kecil menengah, hal ini ibarat pintu emas yang terbuka lebar. Dulu, membuat konten promosi yang profesional membutuhkan biaya jutaan rupiah. 

Tag
Share