PDRB Lampung Tunjukkan Tren Positif

Radar Lampung Baca Koran--
BANDARLAMPUNG – Kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Lampung menunjukkan tren penurunan dalam 13 tahun terakhir. Meskipun masih menjadi salah satu sektor penyumbang utama, laju pertumbuhannya yang melambat mengindikasikan adanya tantangan serius yang perlu segera diatasi.
Pengamat ekonomi pertanian Universitas Lampung (Unila) Teguh Endaryanto menyoroti bahwa perlambatan ini terutama disebabkan oleh rendahnya produktivitas komoditas unggulan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) di sektor pertanian.
Teguh menjelaskan bahwa produktivitas di beberapa komoditas andalan Lampung masih jauh di bawah potensi maksimalnya.
BACA JUGA:Pertumbuhan Pertanian Terus Melambat, Perdagangan Jadi Penyelamat
’’Kopi Lampung baru sekitar 1 ton per hektare, sementara lada Lampung hanya 400–500 kg per hektare. Begitu juga dengan singkong, yang produktivitasnya sekitar 27 ton per hektare, padahal di tempat lain bisa mencapai 35 ton per hektare,” ungkap Teguh.
Ia menegaskan, perlunya peningkatan produktivitas agar sektor pertanian kembali bergairah. Selain itu, hilirisasi produk pertanian juga menjadi kunci untuk meningkatkan nilai tambah.
"Jangan hanya menjual bahan baku seperti gabah, tapi diolah menjadi beras. Atau pisang yang dikirim keluar daerah masih dalam bentuk mentah, seharusnya diolah menjadi produk setengah jadi atau jadi agar nilai tambahnya lebih tinggi," tambahnya.
Selain masalah produktivitas, Teguh juga menyoroti persoalan SDM. Mayoritas petani di Lampung memiliki tingkat pendidikan relatif rendah, yaitu SMP ke bawah. Hal ini menjadi hambatan untuk mengadopsi teknologi dan praktik pertanian modern yang dapat meningkatkan hasil panen.
“Bagaimana kita mau meningkatkan produktivitas kalau SDM kita masih relatif rendah?” ujarnya. Ia menekankan pentingnya mendorong peningkatan kualitas SDM di sektor pertanian.
Meski demikian, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Nilai Tukar Petani (NTP) Lampung masih di atas angka 100, yang menandakan pendapatan petani secara indeks masih lebih besar dari pengeluaran mereka. Namun, Teguh mengingatkan untuk mewaspadai tren penurunan NTP dalam beberapa bulan terakhir.
“Kita perlu mencermati tren penurunan NTP di April, Mei, Juni, dan Juli. Jangan sampai pertumbuhan ekonomi kita naik, tetapi NTP-nya terus menurun. Ini akan menjadi masalah serius bagi kesejahteraan petani dalam jangka panjang,” tegas Teguh.
Ia juga menambahkan bahwa meskipun sektor pertanian menyerap 40 persen tenaga kerja, ironisnya, sektor ini juga menjadi penyumbang terbesar tingkat kemiskinan.
Kompleksitas masalah ini menunjukkan perlunya sinergi antara peningkatan produktivitas, hilirisasi, dan perbaikan kualitas SDM untuk memajukan sektor pertanian Lampung. (pip/c1/yud)