Konflik Pertanahan di Lampung Mengemuka, Pengamat: Tata Kelola Agraria Belum Tertib

Pengamat UBL Okta Ainita menyebut konflik pertanahan di Lampung tak lepas dari tata kelola yang lemah dan belum menyentuh keadilan substantif. -FOTO IST -

BANDARLAMPUNG - Tingginya kasus sengketa lahan di Provinsi Lampung kembali menjadi sorotan setelah Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan bahwa intensitas konflik pertanahan di wilayah ini tergolong tinggi. Konflik yang melibatkan masyarakat, korporasi, hingga aset negara menjadi potret buram tata kelola agraria di Lampung.

Menanggapi hal itu, pengamat hukum agraria dari Universitas Bandar Lampung (UBL) Okta Ainita, S.H., M.H. mengungkapkan bahwa akar dari tingginya konflik pertanahan di Lampung adalah belum tertibnya pengelolaan tanah sesuai amanat Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

’’Banyak bidang tanah belum memiliki sertifikat atau peta kadaster lengkap. Bahkan sejumlah sertifikat lama tidak jelas batas-batasnya. Ini diperburuk oleh ketidakmampuan sebagian masyarakat membayar BPHTB maupun biaya administrasi lainnya,” ujar Okta, Rabu (30/7).

Ia menilai penanganan konflik agraria tidak bisa diselesaikan hanya melalui pendekatan administratif. Diperlukan strategi menyeluruh yang meliputi pemetaan kadaster lengkap serta penguatan program PTSL, terutama dengan memberikan insentif seperti pembebasan BPHTB bagi masyarakat miskin ekstrem.

Salah satu faktor struktural yang memperburuk persoalan adalah dominasi korporasi besar di sektor perkebunan, yang menguasai lahan melalui skema Hak Guna Usaha (HGU). 

BACA JUGA:Cair di September, Gaji 5.467 PPPK Pemprov Lampung Tahap I Dirapel

Ketimpangan ini, menurut Okta, kerap menimbulkan benturan antara perusahaan dan warga yang telah lama menggarap lahan secara turun-temurun.

“Banyak perusahaan belum memenuhi kewajiban menyediakan 20 persen lahan plasma untuk masyarakat, sebagaimana diatur dalam Permentan No. 26/2007 jo. No. 98/2013. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan negara,” tambahnya.

Menyoroti kebijakan penertiban tanah terlantar yang diatur dalam PP No. 20 Tahun 2021, Okta menilai langkah ini bisa positif jika dilakukan secara transparan dan akuntabel. Ia mengingatkan pentingnya verifikasi agar kebijakan ini tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain.

Meski dinilai positif, Okta mengingatkan agar dalam pelaksanaannya hendaknya disertai verifikasi yang ketat dan transparan agar tidak disalahgunakan atau menimbulkan sengketa baru. 

"Penting juga untuk mengidentifikasikan antara tanah yang benar-benar terlantar dan tanah yang sedang dalam proses pengelolaan," tuturnya.

BACA JUGA:Mendagri Usul Pilkada Dipilih DPRD

"Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar harus segera dimanfaatkan untuk reforma agraria, pembangunan perumahan rakyat, atau kepentingan strategis negara sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden nomor 86 tahun 2018," sambungnya.

Dengan demikian, disampaikan Okta, penyelesaian permasalahan pertanahan di Lampung memerlukan langkah strategis yang terukur, berbasis hukum, transparan, serta melibatkan partisipasi aktif masyarakat agar tanah benar-benar menjadi sumber kesejahteraan rakyat, bukan hanya aset yang mengendap di atas kertas.

Tag
Share