Komisi II DPR RI Masih Bahas Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

Komisi II DPR menegaskan perlunya kajian mendalam agar putusan MK tidak menimbulkan kekosongan jabatan di DPRD. -FOTO IST -

JAKARTA - Komisi II DPR RI masih menelaah secara mendalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Salah satu poin krusial yang menjadi sorotan adalah potensi terjadinya kekosongan kursi DPRD karena belum ada skema pengisian jabatan sementara.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menjelaskan, jika pemilu harus dipisah dengan jeda 2 hingga 2,5 tahun, maka masa jabatan anggota DPRD berpotensi berakhir sebelum pemilu berikutnya digelar.
“Intinya, sampai sekarang tidak ada mekanisme pengisian anggota DPRD secara sementara. Ini yang menjadi masalah pokoknya,” ujar Dede di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa.
Ia juga menilai putusan MK tersebut memicu pro dan kontra karena akan berdampak pada banyak peraturan perundang-undangan, mulai dari UU Pemilu, UU Pilkada, UU Pemerintahan Daerah, hingga UU Otonomi Khusus.
“Kalau dijalankan, artinya harus ada undang-undang baru atau UU transisi. Implikasinya bisa merombak total sistem ketatanegaraan kita. Keputusan MK ini terlalu luas dampaknya,” jelasnya.
Dede pun mengingatkan potensi kekosongan jabatan DPRD bisa berlangsung hingga tiga tahun jika tidak ada payung hukum yang mengaturnya.
“Contohnya, jarak dua tahun atau dua setengah tahun setelah DPR dilantik, sedangkan proses pelantikan DPR sendiri saja sudah makan waktu delapan bulan,” ujarnya.
Selain itu, Komisi II DPR RI juga menunggu arahan Pimpinan DPR terkait pembahasan revisi UU Pemilu. Revisi ini kemungkinan akan dibahas lebih lanjut di Badan Legislasi DPR.
“Jadi harus dipertimbangkan secara matang. Kami masih mendengar masukan dari pimpinan DPR, pimpinan fraksi, serta para ketua umum partai,” pungkasnya.
Diketahui Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima angkat bicara soal wacana perpanjangan masa jabatan anggota DPRD, sebagai konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.
Menurutnya, putusan MK tersebut akan membawa implikasi ketatanegaraan yang tidak sederhana. Ia mengingatkan agar seluruh pihak mencermati dampak putusan ini secara mendalam agar tidak menimbulkan persoalan baru dalam sistem demokrasi dan penyelenggaraan pemilu nasional.
“Perpanjangan masa jabatan DPRD, misalnya, bukan perkara mudah. Perlu duduk bersama antara DPR, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyepakati langkah-langkah strategis guna mengantisipasi konsekuensi dari putusan MK tersebut,” ujar Aria Bima, dikutip dari JPNN.com, Senin (30/6/2025).
Politikus Fraksi PDI Perjuangan ini menilai bahwa kondisi ini semakin menguatkan urgensi pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang baru secara menyeluruh.
Ia menyarankan pembahasan RUU Pemilu tidak cukup hanya melalui Panitia Kerja (Panja), tetapi idealnya melibatkan Panitia Khusus (Pansus) lintas komisi karena persoalan yang dihadapi sangat kompleks.
“Apakah nantinya perlu penambahan pasal peralihan atau penyisipan norma baru dalam UU Pemilu, itu harus dipikirkan secara integral, tidak bisa sepotong-sepotong. Ini menyangkut desain besar penyelenggaraan pemilu yang akan memengaruhi ekosistem demokrasi nasional,” tegasnya.
Lebih lanjut, Aria Bima juga menekankan pentingnya pendekatan kodifikasi atau omnibus law dalam penyusunan undang-undang kepemiluan agar menghasilkan regulasi yang komprehensif dan adaptif terhadap dinamika terbaru.
“Undang-Undang Pemilu ke depan harus merupakan hasil dari proses corrective action yang menyeluruh dan menjawab tantangan yang belum terakomodasi dalam undang-undang yang berlaku sekarang,” pungkasnya.
Diketahui Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin mengakui pihaknya bekerja ekstrakeras ketika pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah digelar secara bersamaan.
Pernyataan tersebut disampaikan Afifuddin sebagai tanggapan atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengatur pemisahan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
“Ya, memang tahapan yang beririsan, bahkan bersamaan secara teknis lumayan membuat KPU harus bekerja ekstra,” ujar Afifuddin melalui pesan singkat, Jumat (27/6).
Meski begitu, mantan Komisioner Bawaslu itu menyebut KPU belum bisa memberikan tanggapan substantif karena masih mempelajari isi putusan secara mendalam.
“Kami menghormati putusan MK dan akan pelajari secara detail putusan MK tersebut,” tambahnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemilu nasional dan daerah harus dipisahkan pelaksanaannya. Dalam putusan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tersebut, MK menyebut pemilu nasional dan daerah harus diberi jeda waktu paling lama 2 tahun 6 bulan.
Menyikapi putusan itu, Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizami Karsayuda mengatakan masa jabatan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota berpotensi diperpanjang.
“Anggota DPRD, satu-satunya cara adalah dengan memperpanjang masa jabatan,” ujar Rifqi, Jumat (27/6).
Menurut politisi Fraksi NasDem itu, kekosongan jabatan bisa terjadi di lembaga legislatif karena tidak ada aturan yang memungkinkan penunjukan pejabat sementara, berbeda dengan posisi kepala daerah yang bisa diisi oleh penjabat sesuai ketentuan yang berlaku.
“Kalau pejabat gubernur, bupati, wali kota bisa ditunjuk penjabat seperti yang kemarin. Tapi kalau DPRD, tidak ada aturannya,” jelas Rifqi. (ant/c1/abd)

Tag
Share