Disnaker Bandar Lampung: Belum Terlihat Gelombang PHK Massal di Wilayah Kami

Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Bandarlampung M. Yudhi -FOTO DOK. RLMG -
BANDARLAMPUNG – Di tengah kekhawatiran akan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terjadi di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Pemerintah Kota Bandarlampung menyatakan kondisi ketenagakerjaan di wilayahnya masih tergolong stabil.
Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Bandarlampung M. Yudhi mengatakan hingga saat ini pihaknya belum menerima laporan adanya PHK dalam skala besar.
“Sejauh ini kami belum mendapatkan laporan terkait PHK massal atau besar-besaran. Yang ada sifatnya masih kasus per kasus,” ujar Yudhi, Jumat (11/7/2025).
Menurut Yudhi, laporan yang masuk ke Disnaker sebagian besar bersifat individual, misalnya pengaduan terkait gaji yang tidak dibayarkan atau tunggakan upah selama beberapa bulan.
“Biasanya hanya satu atau dua orang. Kalaupun ada, itu lebih karena faktor ketidakpatuhan perusahaan, seperti gaji belum dibayar, atau ada juga PHK karena alasan indisipliner, misalnya karyawan jarang masuk kerja tanpa keterangan,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa hingga kini belum ada tren mengarah ke badai PHK yang melibatkan banyak pekerja dalam satu waktu atau dari satu perusahaan besar di Kota Bandar Lampung.
Disnaker berharap situasi ini dapat terus dijaga. Yudhi menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan pekerja untuk menjaga iklim ketenagakerjaan tetap kondusif.
“Kita berdoa tidak ada, atau jangan sampai terjadi PHK besar-besaran di Bandar Lampung. Ini penting demi menjaga daya beli masyarakat dan keberlangsungan ekonomi daerah,” pungkasnya.
Diketahui Belum usai dampak kebangkrutan Sritex, industri tekstil nasional kini kembali dibayangi badai ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kebijakan tarif impor tinggi yang akan diterapkan oleh Amerika Serikat (AS) memicu kekhawatiran di kalangan pelaku industri, khususnya sektor manufaktur padat karya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan rencana penerapan tarif baru oleh AS berpotensi menggerus permintaan terhadap produk ekspor Indonesia. Jika permintaan melemah, produksi akan turun, dan pada akhirnya bisa berujung pada gelombang PHK.
’’Tarif impor yang tinggi membatasi pembelian produk Indonesia di pasar AS. Ini akan sangat berdampak pada sektor padat karya yang menjadikan AS sebagai tujuan utama ekspor,” ujar Benny dalam program Investor Market Today pada Rabu (9/7).
Beny menambahkan, industri seperti pakaian jadi, sepatu olahraga, komponen elektronik, furnitur, dan kerajinan tangan merupakan sektor yang sangat tergantung pada pasar AS. Hal ini karena Amerika Serikat sendiri tidak memiliki industri padat karya sekuat Indonesia akibat tingginya biaya tenaga kerja.
Data riset Beritasatu menunjukkan, selama periode Januari-Mei 2025, komoditas ekspor terbesar Indonesia ke AS adalah pakaian jadi dari tekstil dengan nilai mencapai USD1,27 miliar. Disusul oleh produk sepatu olahraga, minyak kelapa sawit, pakaian rajutan, dan alas kaki.