Bawaslu Serahkan Tindak Lanjut Putusan MK soal Pemilu Terpisah ke DPR

Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan pihaknya hanya menyarankan berdasarkan pengalaman pengawasan, tetapi keputusan ada di DPR dan pemerintah. -FOTO IST -
JAKARTA – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyerahkan sepenuhnya tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 mengenai Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal kepada DPR dan pemerintah.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyatakan lembaganya siap memberikan masukan teknis jika diminta, tetapi keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan pembuat undang-undang.
“Semua keputusan soal penjadwalan pemilu dan pilkada kami serahkan kepada DPR dan Pemerintah. Kami (Bawaslu) hanya bisa menyarankan berdasarkan pengalaman pengawasan yang kami jalankan di lapangan,” kata Bagja dalam diskusi Menakar Dampak Putusan MK terhadap Kontestasi 2029 di Media Center Bawaslu RI, Rabu (9/7/2025).
Bagja menyoroti bahwa pelaksanaan pemilu dan pilkada secara berdekatan, seperti yang terjadi pada 2024, dapat menimbulkan berbagai persoalan teknis dan pengawasan.
Menurutnya, Pilkada Serentak 2024 memiliki kompleksitas tinggi karena digelar serentak di seluruh Indonesia. “Pilkada kita ini bukan per provinsi, tetapi seluruh Indonesia. Maka harus dipahami sebagai pemilu nasional dalam bentuk lokal. Kompleksitasnya setara,” tegasnya.
Dari sisi tahapan, Bagja menjelaskan jika Pemilihan Presiden (Pilpres) berlangsung dua putaran, maka prosesnya akan bersinggungan langsung dengan tahapan pencalonan dan kampanye pilkada. Hal ini, menurutnya, dapat mengganggu fokus pengawasan baik di pusat maupun daerah.
“Ini bukan sekadar soal waktu yang sempit, tapi juga benturan tahapan yang bisa melemahkan pengawasan. Fokus pengawasan di daerah bisa terganggu karena masih tersita untuk tahapan pusat,” ujarnya.
Bagja juga menilai keserentakan pemilu nasional dan lokal dapat mendorong partai politik mengambil keputusan tergesa-gesa dalam menentukan calon kepala daerah. Sementara dari sisi pemilih, potensi kejenuhan meningkat karena dalam satu tahun masyarakat bisa mencoblos beberapa kali, termasuk jika terjadi pemungutan suara ulang (PSU).
Ia menekankan pentingnya adanya jeda waktu antara pemilu nasional dan pilkada, minimal dua tahun, guna memastikan proses perencanaan, pemutakhiran data pemilih, dan edukasi berjalan lebih baik.
“Dengan adanya jeda waktu yang cukup, proses pendidikan politik tetap berjalan dan diharapkan menghasilkan kualitas pemilih yang lebih baik,” ucapnya.
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 26 Juni 2025, membacakan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. MK menyatakan bahwa Pemilihan Anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dilaksanakan dalam waktu paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan Anggota DPR, DPD, atau Presiden dan Wakil Presiden.
Sebagai informasi, pemilu nasional mencakup pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, serta DPD. Sementara pemilu lokal mencakup pemilihan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota beserta wakilnya.
Sebelumnya Anggota Komisi II DPR RI Giri Ramanda Kiemas menyoroti dampak teknis dan hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan pemilu legislatif dan pemilu presiden harus digelar secara terpisah. Menurutnya, kebijakan ini harus dikaji secara mendalam agar tidak menimbulkan kekosongan hukum.
’’Putusan MK pasti ada komplikasinya. Apakah semudah itu mengubah UUD? Apakah cukup dengan menambahkan pasal peralihan? Ini semua masih dalam pembahasan,” kata Giri dalam diskusi di gedung Bawaslu, Jakarta Pusat, Rabu (9/7).
Giri menilai sejauh ini pelaksanaan pemilu sudah mengalami perbaikan signifikan, baik dari sisi teknis maupun kelembagaan penyelenggara. Namun, tanpa desain hukum yang matang, perubahan sistem pemilu bisa berisiko tinggi.
“Kalau tidak dirancang baik, bisa timbul kekosongan waktu tahapan. Kita perlu detailkan agar transisi berjalan mulus dan tidak menyulitkan penyelenggara,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa sebagian besar partai politik belum mencapai kesepakatan soal arah desain pemilu ke depan.
Anggota KPU RI, August Mellaz, menyatakan lembaganya tetap netral dan siap menjalankan segala bentuk regulasi yang dihasilkan oleh pembentuk undang-undang.
“KPU tidak dalam posisi mengomentari putusan MK. Kami pelaksana UU dan akan menindaklanjuti setiap regulasi yang dibuat,” kata Mellaz.
Ia juga menyampaikan evaluasi pemilu 2024 yang menunjukkan peningkatan partisipasi dan menurunnya surat suara tidak sah.
“Partisipasi mencapai 82 persen. Surat suara tidak sah turun jadi 9,4 persen,” ujarnya.
Namun demikian, Mellaz menyoroti beban kerja tinggi yang dihadapi penyelenggara, termasuk kelelahan hingga korban jiwa.
“Lebih dari 800 petugas KPU dan Bawaslu mengalami kelelahan. Hampir 900 orang dilaporkan kelelahan atau meninggal,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, menyatakan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kompleksitas pemilu serentak dengan lima kotak suara. Ia juga menyoroti pentingnya jeda antar tahapan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan.
“Kalau ada jeda sebelum pilkada, penyelenggara bisa lebih siap. Ini soal kualitas, bukan sekadar efisiensi,” tegasnya.
Rahmat mendukung gagasan kodifikasi undang-undang sebagai solusi jangka panjang untuk menyederhanakan aturan pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada.
“Sejak lama kami usulkan satu kitab undang-undang: parpol, pemilu, dan pilkada. Desain keserentakan harus efisien dan terstruktur,” jelasnya.
DPR dan Bawaslu sepakat bahwa penyusunan regulasi pasca putusan MK memerlukan waktu dan pembahasan lintas lembaga.
“Saya yakin 2026 baru dibahas dan 2027 mulai dijalankan. Sekarang kita tunggu prosesnya,” pungkas Giri. (bwl/c1/abd)