Kebijakan Tarif Dagang AS Jadi Tantangan Besar Ekspor-Impor

Ilustrasi ekspor Indonesia-FOTO UNSPLASH/LEO TUN -
JAKARTA - Kebijakan tarif dagang Amerika Serikat (AS) menjadi tantangan besar bagi aktivitas ekspor-impor Indonesia. Penerapan tarif sebesar 32% yang direncanakan mulai berlaku 1 Agustus 2025 diperkirakan menyulitkan produk Indonesia menembus pasar AS.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan kebijakan tarif yang mencakup Indonesia ini akan berdampak signifikan. Tarif impor tinggi yang dikenakan terhadap produk-produk asal Indonesia berpotensi mengurangi minat beli dari para mitra dagang di Negeri Paman Sam.
’’Tantangan dari kebijakan tarif ini pasti ada. Pembeli akan menghitung ulang apakah mereka masih akan membeli dari Indonesia atau justru menggabungkan volume pembelian dari negara lain,” ujar Benny dalam program Investor Market Today pada Rabu (9/7).
Benny menambahkan, produk-produk dari industri padat karya menjadi sektor yang paling rentan terdampak, mengingat Amerika Serikat (AS) merupakan pasar utama bagi produk ekspor sektor ini. Pada sisi lain, AS tidak memiliki banyak industri padat karya akibat tingginya biaya tenaga kerja, sehingga Indonesia selama ini menjadi pemasok penting bagi kebutuhan, seperti pakaian jadi, sepatu olahraga, komponen elektronik dan elektrik, hingga furnitur serta kerajinan.
Secara keseluruhan, nilai ekspor Indonesia pada periode Januari-Mei 2025 tercatat sebesar USD111,98 miliar. Dalam periode tersebut, Tiongkok masih menjadi negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai USD24,25 miliar, disusul oleh AS sebesar USD12,11 miliar.
Berdasarkan riset tim, komoditas ekspor terbesar Indonesia ke AS pada periode Januari-Mei 2025 adalah pakaian jadi (konveksi) dari tekstil dengan nilai mencapai USD1,27 miliar. Komoditas lainnya yang juga mendominasi antara lain sepatu olahraga, minyak kelapa sawit, pakaian rajutan, dan alas kaki.
Menurut Benny, meskipun Indonesia telah mulai melakukan penetrasi pasar ke Timur Tengah, Asia Tengah, dan Afrika, faktor seperti infrastruktur keuangan dan biaya logistik yang tinggi masih menjadi tantangan utama. Sementara itu, AS dinilai masih unggul karena memiliki sistem logistik dan ekosistem keuangan yang lengkap.
’’GPEI terus berdiskusi dengan pemerintah untuk membuka pasar baru serta memperkuat infrastruktur ekspor ke negara-negara non-tradisional. Kami juga berdialog dengan para pembeli untuk mencari solusi bersama atas dampak dari kebijakan tarif ini,” jelasnya.
Salah satu langkah konkret yang tengah dijalankan adalah Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA). Meski demikian, Benny menekankan bahwa membangun relasi dagang baru di pasar Eropa tidak mudah dan membutuhkan waktu serta usaha ekstra.
’’Untuk secara perlahan mengalihkan pasar dari AS ke negara lain, dibutuhkan strategi yang matang dan waktu yang tidak singkat,” tambah Benny.
Di sisi lain, keanggotaan Indonesia dalam BRICS dinilai membuka peluang kerja sama dagang baru. Namun, Benny menilai ekosistem keuangan di negara-negara BRICS saat ini belum sekuat hubungan dagang dengan AS.
’’Bank Indonesia (BI) sebenarnya sudah mulai menerapkan skema Local Currency Settlement (LCS), seperti dengan Tiongkok, dengan pembayaran impor dari negara itu dilakukan dalam rupiah, dan eksportir menerima yuan. Pola ini bisa diterapkan ke negara lain,” papar Benny.