Demokrat Siapkan Sejumlah Opsi Hadapi Putusan MK soal Pemisahan Pemilu

Waketum Partai Demokrat Dede Yusuf saat ditemui di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (1/7). -FOTO ISTIMEWA -
JAKARTA – Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Demokrat Dede Yusuf menyatakan partainya siap menghadapi berbagai skenario politik pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu lokal.
’’Kalau Partai Demokrat sampai saat ini, kami harus siap dengan segala opsi,” ujar Dede kepada wartawan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/7).
Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu mengatakan Demokrat telah menyusun beberapa rencana sebagai bentuk kesiapan menghadapi kontestasi politik berikutnya, meskipun skema pemilu masih dalam pembahasan lebih lanjut.
“Jika opsi ini memang harus dijalankan, langkah yang harus dilakukan—plan satu, dua, tiganya—sudah ada,” katanya.
Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini menambahkan, partainya juga menunggu langkah-langkah lanjutan dari partai politik lain untuk membahas dampak putusan MK tersebut.
“Tadi pimpinan DPR sudah menyampaikan akan ada pertemuan antarpartai. Apa pun hasilnya, kami harus tetap punya opsi,” tegasnya.
Kritik dari Partai NasDem: Berpotensi Krisis Konstitusional
Sementara itu, Partai NasDem menilai putusan MK tersebut berpotensi menimbulkan krisis konstitusional. Anggota Majelis Tinggi NasDem, Lestari Moerdijat (Rerie), menyebut pelaksanaan putusan itu justru bisa melanggar konstitusi.
“Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional, bahkan deadlock konstitusional. Jika dilaksanakan, justru bisa menimbulkan pelanggaran konstitusi,” ujar Rerie dalam konferensi pers di kantor DPP NasDem, Jakarta, Senin (30/6).
Menurut Rerie, Pasal 22E UUD NRI 1945 secara tegas mengatur bahwa pemilu di Indonesia harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali, termasuk untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
Dengan adanya pemisahan pemilu nasional dan lokal selama 2,5 tahun sebagaimana tertuang dalam putusan MK Nomor 135, Rerie menilai ada potensi pelanggaran atas prinsip lima tahunan pemilu.
“Putusan MK terkait pergeseran pemilihan kepala daerah dan DPRD yang melampaui masa lima tahun adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945,” tegasnya.
Rerie yang juga Wakil Ketua MPR RI itu menambahkan, putusan MK dinilai telah melampaui kewenangan legislatif dalam menentukan model pemilu yang merupakan domain open legal policy.
“MK telah menjadi negative legislator yang bukan kewenangannya. Selain itu, tidak melakukan pendekatan moral reading dalam menafsirkan konstitusi,” pungkasnya.
Diketahui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah mulai memicu kontroversi politik. Salah satu suara keras datang dari Partai NasDem, yang menilai keputusan tersebut berpotensi menimbulkan krisis konstitusional.
Anggota Majelis Tinggi DPP Partai NasDem sekaligus Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menyebut pelaksanaan putusan ini bisa menyebabkan kebuntuan hukum (deadlock konstitusi) dan menabrak aturan dasar dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Jika pemilu DPRD tidak dilakukan lima tahun sekali, itu jelas pelanggaran konstitusi. Putusan MK ini sudah masuk ke ranah legislatif, yang seharusnya menjadi domain DPR dan pemerintah,” kata Lestari dalam konferensi pers di NasDem Tower, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Menurut Lestari, Pasal 22E UUD 1945 menegaskan bahwa pemilu harus diselenggarakan setiap lima tahun secara serentak untuk memilih Presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Ia menilai MK telah bertindak melampaui kewenangan sebagai “negative legislator” dengan menciptakan norma baru yang justru bertentangan dengan konstitusi.
“Putusan ini secara tidak langsung memperpanjang masa jabatan DPRD tanpa pemilu. Artinya, anggota DPRD menjalankan kekuasaan tanpa mandat rakyat. Ini berbahaya dan inkonstitusional,” tegasnya.
Lestari juga mengingatkan bahwa sebelumnya MK pernah memperkuat skema pemilu serentak melalui Putusan Nomor 95/PUU-XX/2022, yang mendukung pelaksanaan pemilu lima kotak. Namun, dalam putusan terbaru, MK justru bertolak belakang dengan tafsir sebelumnya.
NasDem secara tegas menyebut langkah MK ini sebagai bentuk “pencurian kedaulatan rakyat”. Lestari menekankan bahwa pembentukan norma pemilu seharusnya menjadi kewenangan pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.
“MK tidak punya wewenang untuk menciptakan norma baru, apalagi yang bertentangan dengan UUD 1945. Kewenangan itu ada di tangan pembentuk undang-undang, bukan hakim konstitusi,” tandasnya.
Berbeda dengan NasDem, PDI Perjuangan hingga kini belum menyatakan sikap resmi. Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDIP, Aria Bima, mengatakan partainya masih mengkaji dampak putusan MK terhadap sistem pemilu ke depan.
“Kami sedang menganalisis implikasinya terhadap Undang-Undang Pemilu dan sistem kepemiluan secara keseluruhan,” ujar Aria Bima di Kompleks Parlemen, Senin (1/7/2025).
Ia juga menyebut bahwa DPP PDIP tengah melakukan konsolidasi internal untuk menentukan sikap akhir.
“Baru saja Pak Deddy Sitorus selaku Ketua Bidang Pemilu dan Pilkada menggelar rapat internal untuk menyusun sikap resmi partai,” imbuhnya.
Diketahui, apabila putusan MK ini diterapkan tanpa revisi Undang-Undang Pemilu, maka pelaksanaan Pemilu Daerah seperti Pilkada dan pemilihan anggota DPRD tidak lagi digelar serentak dengan Pemilu Nasional pada 2029. Hal ini dinilai berpotensi mengubah peta demokrasi Indonesia secara fundamental dan menuai kritik tajam dari sejumlah partai politik.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pihaknya akan mengkaji dahulu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal.
’’Kami akan mengkaji dahulu putusan itu,” kata Dasco kepada wartawan, Senin (30/6). (jpnn/c1/abd)