Petani Sang Tabib Tanaman Penjaga Kesempurnaan Ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

Novita, Koordinator Wilayah Jaringan Kearifan Tradisional Indonesia (JKTI) Lampung dan anggota Ikaperta Unila -FOTO IST-
Batang tidak kokoh, dan buah tidak tumbuh sempurna. Sedangkan untuk kelebihan kalium jarang terjadi pada tanaman, karena tanah mengikat unsur kalium dan mengeluarkan untuk tanaman secara perlahan.
Cara mengatasi kekurangan unsur kalium, bisa dengan memberikan pupuk susulan cair hasil fermentasi kulit pisang atau serabut kelapa, atau menaburkan abu sekam atau abu kulit pisang ke dalam tanah.
Sedangkan jika tanaman kekurangan unsur fosfor akan terlihat kerdil, bunga dan buah gampang rontok, dan memiliki cabang tanaman sedikit. Cara petani mengatasi masalah ini dengan memberikan pupuk susulan cair yang berasal dari tanaman yang menghasilkan fosfor yang tinggi seperti kulit pisang, daun kelor, bayam dan daun singkong. Dan bisa juga memanfaatkan tulang-tulang sapi, kambing atau ayam.
Bagi tanaman yang terkena serangan penyakit, biasanya petani memanfaatkan kondisi lingkungan sekitar misalnya dengan memanfaatkan predator laba-laba, capung, kumbang kubah. Selain itu memanfaatkan tanaman pemikat dan pengusir hama, seperti bunga-bunga yang mencolok atau daun serai yang menimbulkan aroma.
Tetapi jika serangan sudah terlalu besar mereka membuat biopestisida dari bahan-bahan yang ada disekitar mereka seperti daun sirsat, mahoni, gadung, daun papaya dan lain-lain.
Terkait kegiatan ritual, masih banyak petani melakukan pertanian dengan kearifan local yang ada di daerah mereka. Kegiatan spiritual mereka dengan doa, matra dan ritual tertentu. Petani di Jawa sebelum menanam menggunakan hari dan pasaran yang baik (jaya dino) dipadukan dengan jaya pasaran (kejayaan pekan).
Mereka percaya hari yang baik akan berpengaruh pada hasil panen dan bisa terhindar dari hama serta penyakit. Lalu pimpinan spiritual memimpin upacara melakukan pembakaran kemenyan dan membaca mantra di lahan tempat air irigasi masuk ke lahan tersebut.
Begitu juga di daerah Lampung Barat, tepatnya di Kecamatan Suoh. Masih ada petani yang melakukan ritual baik saat mulai tanam hingga panen. Mereka melakukan hitungan juga, dengan istilah Pranoto Mongso. Saat mulai penyemaian mereka menghitung dengan kata-kata cucuk (mulut),waduk (perut), silit (pantat). Yang baik, jika hasil hitungan silit.
Begitu juga saat mau tanam mereka menghitung oyot (akar) ,uwit (batang), godong (daun), uwoh (buah). Jika menanam padi,cabe, jagung, hitungan harus sampai di uwoh. Tetapi jika nanam ketela sampai di oyot.
Daerah Suoh itu juga, di desa Tugu Ratu, ada kelompok petani organik lembah Suoh. Mereka sudah membuat pupuk organik dan biopestisida sendiri. Jenis padi yang dipakai adalah padi lokal seperti mentik susu, pandan wangi, dan beras merah.
Walaupun petani, mereka juga hobi untuk membuat ramuan dan melakukan uji coba. Pemilihan benih juga disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim yang ada disana. Sepertinya sudah layak dijadikan tabib tanaman.
Tidak hanya praktek pertanian organik, mereka juga mengadakan pelatihan sekolah lapang (SL) untuk para petani yang tertarik bertani selaras alam. Saat ini mereka sudah mandiri dan merdeka dengan mentadaburi alam melalui pertanian organik.
Konsep bertani dengan kearifan lokal kadang di cap sebagai pola bertani kuno. Padahal di negara luar, justru praktek pertanian yang sudah diterapkan nenek moyang kita menjadi pertanian modern.
Salah satunya yang digencarkan oleh negara luar adalah pertanian permakulture. Pertanian ini dilakukan selaras dengan alam bukan melawannya. Pola tanaman permakulture seperti sistem tumpang sari, agroforestry, dan polikurtur.
Saat ini sistem pertanian kita tidak lagi tergantung oleh alam, tetapi berusaha memodifikasi alam dengan memberikan asupan pupuk dan pestisida yang tinggi agar panen melimpah. Pola fikir petani telah diracuni untuk memakai pupuk, benih unggul yang tahan iklim dan hama agar menghasilkan panen melimpah, sehingga perekonomian akan meningkat, tetapi tidak menghitung produktivitas pola pertanian tersebut.