Libatkan Partisipasi Masyarakat dalam Menyusun Penulisan Sejarah!

BUKA PAMERAN: Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat membuka Pameran Art Jakarta Gardens di Hutan Kota Plataran, Senayan, Jakarta, Rabu (23/4).--FOTO HANUNG HAMBARA/JAWA POS

JAKARTA - Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana menyoroti penggunaan istilah terminologi ’’sejarah resmi’’ terkait rencana penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan (Kemenbud). Menurut Bonnie, terminologi ’’sejarah resmi’’ dalam draf Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia tidaklah tepat.  

Menurut Bonnie, akan muncul interpretasi ilegal terkait tulisan sejarah versi lain selain yang dibuat Kemenbud jika terminologi sejarah resmi yang digunakan. Bonnnie meminta Kemenbud untuk memperjelas dan mengevaluasi proyek penulisan sejarah baru tersebut. 

 

"Hendaknya proyek penulisan sejarah yang kini dikerjakan oleh Kemenbud tidak menggunakan terminologi 'sejarah resmi' atau 'sejarah resmi baru'. Istilah tersebut tidak dikenal dalam kaidah ilmu sejarah dan problematik baik secara prinsipil maupun metodologis," kata Bonnie.

 

"Penggunaan terminologi 'sejarah resmi' menimbulkan interpretasi bahwa versi sejarah di luar itu adalah tidak resmi, ilegal bahkan subversif," sambung Bonnie.

 

Sebab, kata Bonnie, rencana penulisan ulang sejarah ini meliputi awal lahirnya masyarakat Nusantara hingga pasca Reformasi. Kementerian Kebudayaan telah menunjuk tiga sejarawan, yakni Susanto Zuhdi, Singgih Tri Sulistiyono, dan Jajat Burhanudin, untuk menyusun Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia. Buku sejarah ini ditargetkan rampung pada 17 Agustus 2025 atau tepatnya pada HUT Ke-80 Kemerdekaan RI.

 

Bonnie menegaskan, akuntabilitas dan transparansi dalam penulisan ulang sejarah harus dijalankan dengan membuka ruang publik yang tak hanya melibatkan sejarawan profesional, tapi juga masyarakat.

 

"Hendaknya penulisan sejarah bangsa terbuka kepada publik. Karena sejatinya, sejarah adalah milik orang banyak dan menyangkut cara pandang bangsa terhadap masa lalunya. Ini guna memetik pelajaran sejarah sepahit apa pun itu," terang Bonnie.

 

Menurutnya, proyek penulisan sejarah yang tidak transparan akan menimbulkan kecurigaan atas penggunaan tafsir tunggal. Apalagi, revisi naskah sejarah ini disponsori negara melalui pemerintah. "Syak wasangka atas tafsir tunggal ini berpotensi membungkam versi-versi lain dari peristiwa sejarah itu sendiri," ucapnya.

Tag
Share