Bahasa Indonesia Dalam Pemikiran Ki Hajar Dewantara untuk Pendidikan Indonesia

Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung Dr. Eka Sofia Agustina, M.Pd.-FOTO IST -
(Refleksi 78 Tahun Pendidikan Nasional dan 66 Tahun Hari Pendidikan Nasional )
Oleh: Dr. Eka Sofia Agustina, M.Pd.
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung
Dalam catatan hasil membaca saya dari berbagai referensi, Indonesia resmi memiliki kurikulum untuk sistem pendidikan nasional di tahun 1954. Oleh karena itu, jika dihitung masa usia perjalanan pendidikan nasional maka sudah masuk usia 78 tahun. Pemaknaan usia tentu sangat berhubungan dengan hal yang sudah dicapai karena bukan melulu persoalan angka, tetapi apa makna di balik capaian angka tersebut. Hal itu sebagai representasi pemahaman kita sebagai manusia yang diciptakan Tuhan Yang Mahakuasa dengan atribut akal. Pembahasan pendidikan nasional selalu erat dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap tanggal 2 Mei. Secara resmi, 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional berdasarkan dikeluarkannya Surat Keputusan Presiden RI Ir. Soekarno No. 305 tahun 1959 tanggal 28 November 1959 yang menetapkan Bpk. Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, meskipun usia wajah pendidikan di Indonesia sudah 78 tahun, usia peringatan Hardiknas baru masuk ke-66 tahun. Dalam sumber referensi yang diterbitkan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa sejak cetakan pertama 1961, dipilihnya sosok Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional berdasarkan banyak pertimbangan di antaranya karena pemikiran dan perjuangan beliau tentang pendidikan yang salah satunya terbukukan pada buku Ki Hajar Dewantara (Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka).
Dengan demikian, setiap bulan Mei menjadi bulan perenungan pendidikan secara nasional oleh kita semua. Namun meski usia telah 66 tahun sudahkah kita semua yang menjadi bagian dari pelaksana dan penyelenggara pendidikan di Indonesia sudah melaksanakan semua pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara? Jangan-jangan kita hanya mengingat ini sebagai bulan pendidikan saja tanpa mengetahui esensi sejarah mengapa ada Hardiknas.
Tulisan saya ini diawali dengan penghitungan usia, setidaknya ketika kita bicara angka dalam usia perjalanan hal yang kemudian terpikirkan adalah sudah mencapai apa dalam proses usia tersebut. Begitu pula dalam angka di usia ke-66 sebagai Hardiknas. Salah satu esensi pemikiran beliau terhadap pendidikan di Indonesia ialah tentang bahasa Indonesia. Hardiknas adalah cermin ajaran nilai-nilai luhur tentang pendidikan yang dirumuskan dari pemikiran Ki Hajar Dewantara. Salah satu pemikiran beliau tentang Bahasa Indonesia dituangkan dalah salah satu artikel tahun 1938 yang berjudul “Hanja Bahasa Indonesia Berhak Mendjadi Bahasa Persatuan”. Rumusan pemikirannya yang menyampaikan 2 subtansi bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah terdiri atas 1) demi persatuan bangsa Indonesia hanya bahasa Indonesialah yang berhak menjadi bahasa persatuan; (2) bahasa Indonesia yaitu bahasa yang berasal dari bahasa Melayu Riau, akan tetapi sudah disesuaikan dan diperkaya berdasarkan kebutuhan zaman; (3) lembaga-lembaga pendidikan di daerah yang daerahnya memiliki bahasa (daerah) sendiri, yang dipelihara baik oleh penuturnya untuk keperluan masyarakat dan kebudayaan, harus tetap dipergunakan sebagai bahasa perantara di dalam lembaga tersebut. Akan tetapi wajib juga mengajarkan bahasa Indonesia karena alam Indonesia tidak hanya alam daerah, tetapi buat semua bangsa yang beralam baru, alam Indonesia yang luas.
Perhatian beliau terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing sangat konsisten berdasarkan banyak tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Salah satunya pada momentum setelah Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta, berdasarkan beberapa artikel yang ditulis oleh Ki Hajar Dewantara dengan untaian kalimat yang sangat kokoh, bahwa masyarakat kita pada masa itu juga diperhadapkan pada tiga jenis bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Ia memberikan pandangan bahwa dengan mempelajari bahasa sendiri kita memiliki basis yang sekodrat untuk berdiri sebagai anggota dari masyarakat kemanusiaan. Sementara itu, pengajaran bahasa asing memberi kesempatan kepada kita untuk menambah kekayaan budi kebangsaan dengan beberapa nilai kebatinan dari bangsa-bangsa lain, yang mempunyai benda-jiwa sendiri-sendiri yang khusus. Rumusan pemikiran beliau menyampaikan pesan pada kita saat ini untuk mempelajari bahasa apa pun tanpa harus meninggalkan bahasa yang menjadi identitas kita.
Pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara tersebut dituliskan sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan di tahun 1945. Artinya, beliau sangat memahami posisi potensi kekayaan bahasa daerah di Indonesia yang wajib dipersatukan hanya dengan bahasa yakni bahasa Indonesia. Selanjutnya, dalam perkembangan upaya menjaga bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan kesatuan di Indonesia dalam rumusan Politik Bahasa Nasional, pertahun 1964 saat Kurikulum 1964 diberlakukan bahasa Indonesia masuk menjadi mata pelajaran mulai SD, SMP, SMA sampai dengan perguruan tinggi.
Merujuk kalimat pada Alinea ke-4 UUD 1945 yang memiliki pesan dan amanat untuk tujuan pendidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Lalu atas dasar amanat tersebut diturunkan pada sistem pendidikan nasional yang tertuang di dalam UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kehadiran mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai ilmu yang diajarkan secara formal di sekolah ada kaitannya dengan politik Bahasa Nasional. Esensinya ialah memosisikan bahasa Indonesia sebagai porsi utama sebagai bagian dari penjaga persatuan dan kesatuan di Negara Kesatuan Republik IndonesiaI. Dari tujuan pendidikan nasional tersebut dikerucutkan pada rumusan tujuan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Pembelajaran Bahasa Indonesia di setiap jenjang pendidikan formal mulai pendidikan dasar, menengah, sampai dengan perguruan tinggi sejatinya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia siswa, baik secara lisan maupun tulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Rumusan pemikiran yang visioner dari Bapak Pendidikan kita tersebut tentang bahasa Indonesia bukan hanya sekadar tentang bahasa tetapi memiliki nilai vivi bangsa yang sangat mulia dan kokoh, sebagai bentuk jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hendaknya senantiasa kita selaku pendidik mengembangkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia di ruang publik sebagai sarana komunikasi ilmu yang penuh dengan nilai-nilai keluhuran bangsa. Sehingga amanah beliau untuk mengikat semangat pendidikan kepada kita para pendidik dengan slogan Ing Ngarsa Sun Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani dapat terus menjadi nafas mulia yang kita transfer kepada anak-anak didik kita sebagai generasi muda penerus bangsa Indonesia. Terakhir, saya sampaikan kutipan pemikiran dari Bapak Ki Hajar Dewantara (1951) “Jangan dilupakan bahwa kemerdekaan bangsa tidak hanya merupakan kemerdekaan politik, tetapi harus sanggup dan mampu mewujudkan kemerdekaan kebudayaan, yakni sifat kekhususan dan kepribadian dalam segala sifat hidup dan penghidupannya di atas dasar adab kemanusiaan yang luas”. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Jayalah Indonesiaku, Jayalah Bahasaku, Jayalah Pendidikan Nasioal! (*)