Soal Putusan MK, Caleg Terpilih Tidak Diperbolehkan Lagi Mundur Jika Ingin Maju Pilkada, Ini kata Pengamat

Dosen hukum Unila, Dr.Satria Prayoga, SH, MH--

BANDARLAMPUNG – Pilkada serentak 2024 lalu menyisakan polemik. Banyaknya caleg terpilih yang kemudian maju sebagai calon kepala daerah menimbulkan pertanyaan besar terkait konsistensi aturan hukum dan potensi pemborosan suara rakyat. 

Pengamat Hukum Adminstrasi Negara, Dr. Satria Prayoga, S.H., M.H. yang juga Dosen FH Universitas Lampung (Unila) membenarkan putusan MK tersebut.

"Jadi, memang sebenarnya secara filosofi dalam Undang-Undang Pilkada, seorang legislatif harus mundur.  Tidak bisa jadi legislatif kemudian juga jadi eksekutif," tegas Dr. Satria.

BACA JUGA:Putusan MK, Caleg Dilarang Mundur Nyalon Kada

Namun, realitanya, sambung Yoga-sapaan akrabnya-, pelaksanaan Pilkada 2024 yang hampir bersamaan dengan Pemilu Presiden dan Pileg menimbulkan kesan adanya irisan antara UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Kondisi ini memaksa KPU untuk menerbitkan peraturan pelaksana, seperti PKPU No. 8 Tahun 2024 dan PKPU No. 10 Tahun 2024 tentang Pencalonan Kepala Daerah, serta Keputusan KPU No. 1229 Tahun 2024.

"Aturan-aturan ini seolah membolehkan caleg terpilih untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah," ucapnya.

Dr. Satria menyayangkan keputusan yang diterbitkan oleh KPU. Sebab, seharusnya, negara yang diwakilkan KPU, bisa memaknai secara mendalam konsep negara hukum, yaitu Trias Politika (pemisahan 3 kekuasaan) dan mengakui Hak Asasi Manusia.

BACA JUGA:Koperasi, Usaha Berbasis Budaya

"Suara masyarakat dalam menentukan pilihannya tidak bisa dialihkan begitu saja dengan mengganti orang yang suaranya berada di bawah caleg terpilih tersebut," jelasnya.

Lebih lanjut, ia menambahkan, bahwa, sebenarnya kepala daerah yang jadi, dari hasil mundur dari caleg terpilih, menurutnya merupakan 'pemerkosaan' terhadap konsep negara hukum.

"Mereka memaksakan diri maju legislatif dengan rencana mundur untuk maju Pilkada, memanfaatkan kekosongan hukum dan ketidakpahaman penyelenggara Pemilu dan Pilkada yang membuat aturan teknis yang bertentangan dengan Undang-Undang dan Prinsip Negara Hukum," katanya.

Akibatnya, lanjut Yoga, banyak suara rakyat dan anggaran negara terbuang sia-sia dan banyak legilsatif yang jadi bukan hasil dari suara pilhan rakyat.

BACA JUGA:Bus Umrah Terbalik dan Terbakar di Arab Saudi, 6 WNI Meninggal

Tag
Share