Putusan MK, Caleg Dilarang Mundur Nyalon Kada

Mahkamah Konstitusi mengubah Pasal 426 UU Pemilu, menyatakan pengunduran diri caleg terpilih hanya bisa dilakukan jika menerima penugasan negara untuk jabatan non-pemilu. -FOTO DOK. MK -

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh tiga mahasiswa terkait pengunduran diri calon legislatif (caleg) terpilih dalam Pemilu 2024. 

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pengunduran diri caleg terpilih dapat dibenarkan hanya jika untuk menduduki jabatan yang ditunjuk oleh negara, seperti menteri, duta besar, atau pejabat negara lainnya yang bukan hasil pemilihan umum.

Putusan ini diambil setelah Sidang Pengucapan Putusan Uji Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terhadap UUD 1945. Sidang tersebut digelar pada Jumat (21/3) di ruang sidang pleno MK dan dihadiri oleh Ketua MK Suhartoyo serta delapan hakim konstitusi lainnya. Permohonan ini diajukan oleh Adam Imam Hamdana, Wianda Julita Maharani, dan Adinia Ulva Maharani yang merupakan mahasiswa.

BACA JUGA:Bus Umrah Terbalik dan Terbakar di Arab Saudi, 6 WNI Meninggal

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum’," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.

Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menekankan bahwa meskipun pengunduran diri adalah hak dari calon terpilih, namun mandat rakyat yang diberikan melalui pemilu harus menjadi pertimbangan utama. "Ketika seorang calon terpilih berhasil meraih suara terbanyak, maka keterpilihannya merupakan mandat rakyat yang harus dihormati. Suara rakyat yang diberikan dalam pemilu merupakan perwujudan demokrasi dan tidak boleh diabaikan," ujar Saldi Isra.

MK juga menilai bahwa pengunduran diri seorang calon legislatif terpilih dapat meniadakan suara pemilih yang telah memilihnya. Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, pemilih dapat memilih berdasarkan figur calon yang diusung, dan jika calon yang terpilih mengundurkan diri, maka suara rakyat menjadi tidak bermakna, menimbulkan ketidakpastian hukum.

Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan bahwa ketidakjelasan dalam Pasal 426 ayat (1) UU Pemilu berpotensi menimbulkan praktik yang tidak sehat dalam demokrasi. Pasal ini tidak memberikan batasan yang jelas mengenai alasan yang dapat digunakan untuk pengunduran diri calon terpilih, sehingga penyelenggara pemilu hanya memproses pengunduran diri tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pemilih.

MK memutuskan bahwa batasan dalam pengunduran diri calon terpilih sangat diperlukan untuk menjaga prinsip kedaulatan rakyat dalam pemilu. Oleh karena itu, pengunduran diri calon terpilih hanya dapat dibenarkan jika dilakukan untuk alasan yang jelas dan konstitusional, seperti untuk menjalankan tugas negara atau menduduki jabatan non-pemilu.

MK juga menegaskan bahwa pengunduran diri untuk maju dalam pilkada tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. "Pengunduran diri untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Calon tersebut telah mendapatkan mandat dari rakyat melalui pemilu legislatif," tegas MK.

Fenomena pengunduran diri caleg terpilih untuk maju dalam pilkada pada Pemilu Legislatif 2024 menjadi salah satu latar belakang gugatan ini. MK menilai praktik tersebut mencerminkan ketidaksehatan dalam demokrasi dan berpotensi bersifat transaksional, mengurangi penghormatan terhadap suara rakyat.

Dengan putusan ini, MK memutuskan bahwa Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa pengunduran diri hanya dapat dilakukan jika calon terpilih mendapat penugasan untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum.

Sebelumnya, para Pemohon merasa bahwa pengunduran diri calon legislatif terpilih merupakan pengkhianatan terhadap mandat rakyat. Pemohon menganggap bahwa hal ini dapat menimbulkan peluang bagi calon legislatif untuk "tes pasar," dan jika suara yang didapatkan menunjukkan tren positif, mereka akan mundur dan beralih ke Pilkada.

"Praktik ini berpotensi membuat suara rakyat tidak dihargai dan bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi," kata para Pemohon dalam pengajuannya.

Tag
Share