Project 2025 dan Tantangan Keberlanjutan Indonesia
--
Kebijakan Trump yang mendukung bahan bakar fosil juga memperburuk posisi Indonesia di pasar global.
Dengan harga energi fosil yang cenderung lebih kompetitif akibat subsidi besar di AS, Indonesia menghadapi tekanan untuk tetap mengandalkan sumber energi yang tidak ramah lingkungan.
Hal ini bertentangan dengan agenda ESG domestik yang telah diperkenalkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seperti kewajiban laporan keberlanjutan dan roadmap keuangan hijau.
Namun, di balik ancaman global ini, Indonesia memiliki peluang untuk mengambil peran strategis di kawasan Asia Tenggara.
Dengan memperkuat kebijakan domestik dan membangun aliansi dengan negara-negara yang tetap berkomitmen pada keberlanjutan seperti Uni Eropa dan Jepang, Indonesia dapat mengisi kekosongan kepemimpinan global dalam isu lingkungan.
Indonesia harus mengurangi ketergantungan pada pendanaan internasional dengan mengalokasikan lebih banyak anggaran domestik untuk proyek energi terbarukan, konservasi hutan, dan infrastruktur tahan bencana. Pemerintah juga dapat memanfaatkan instrumen keuangan seperti obligasi hijau (green bonds) untuk menarik investor yang peduli keberlanjutan.
Ketika AS menarik diri dari kepemimpinan global dalam keberlanjutan, Uni Eropa dan Jepang tetap menjadi mitra potensial yang dapat membantu Indonesia.
Misalnya, melalui kerja sama teknologi hijau dan program pendanaan seperti Green Climate Fund. Dengan ancaman bencana alam yang semakin intensif, Indonesia harus memperkuat kapasitas lokal dalam mitigasi dan adaptasi iklim.
Program pelatihan masyarakat dan pengembangan teknologi prediksi cuaca dapat menjadi langkah awal untuk meminimalkan dampak buruk bencana.
Pemerintah perlu mempercepat transisi energi terbarukan dengan menghapus subsidi untuk bahan bakar fosil secara bertahap dan memberikan insentif bagi proyek energi bersih. Reformasi ini dapat membantu Indonesia mencapai target nol emisi lebih cepat.
Kebijakan Indonesia untuk tetap melanjutkan agenda keberlanjutan meskipun tanpa dukungan AS dapat menjadi model bagi negara berkembang lainnya. Kemandirian dalam pendanaan dan kebijakan adalah kunci.
Tidak ada negara yang harus bergantung pada satu mitra global untuk mengatasi krisis iklim.
Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih dan peluncuran Project 2025 adalah pengingat bahwa dinamika politik global dapat berubah dengan cepat. Namun, ini juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan dalam isu keberlanjutan.
Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia tidak hanya dapat bertahan tetapi juga memimpin dalam transisi energi hijau di kawasan Asia Tenggara.
Indonesia harus memastikan bahwa keberlanjutan menjadi fondasi utama pembangunan, bukan sekadar jargon dalam dokumen resmi.