Pemangkasan Anggaran Transportasi Sebesar Rp 17,9 Triliun Picu Polemik, Ancaman Layanan Publik
PICU POLEMIK: Pemangkasan anggaran sektor transportasi sebesar Rp17,9 triliun menimbulkan polemik. Djoko Setijowarno menekankan perlunya keseimbangan antara program sosial dan sektor strategis. -FOTO DISWAY -
JAKARTA - Pemangkasan anggaran sektor transportasi sebesar Rp17,9 triliun memicu polemik, terutama di tengah upaya pemerintah untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Kebijakan ini diambil sebagai dampak dari alokasi dana besar untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang meskipun penting, berisiko mengorbankan sektor strategis lainnya, termasuk transportasi.
Djoko Setijowarno, Akademisi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua MTI Pusat, menegaskan bahwa program MBG harus dijalankan dengan selektif agar tidak mengganggu layanan publik dasar seperti transportasi, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.
“Presiden menginstruksikan efisiensi anggaran hingga Rp 306 triliun, dengan Rp 256 triliun berasal dari kementerian/lembaga dan Rp 50 triliun dari transfer ke daerah,” ujar Djoko pada Minggu.
Djoko menjelaskan, salah satu sektor yang paling terdampak adalah Kementerian Perhubungan, yang anggarannya dipangkas signifikan dari Rp 31,5 triliun menjadi Rp 5,7 triliun. Dampaknya, pegawai honorer di sektor transportasi harus dirumahkan sementara, dan seluruh subsidi transportasi dihapus.
“Dampak lainnya adalah ancaman lumpuhnya layanan transportasi umum,” tambahnya.
Rencana penghentian subsidi transportasi sempat diumumkan berlaku mulai 1 Februari 2025, namun akhirnya dibatalkan. Meski demikian, pemangkasan anggaran tetap memberikan dampak besar pada sektor transportasi, termasuk subsidi angkutan darat, laut, udara, dan kereta api.
Tidak hanya sektor transportasi, anggaran infrastruktur juga terpangkas drastis. Kementerian PUPR kini hanya mendapatkan Rp 29,6 triliun, jauh lebih rendah dari sebelumnya yang mencapai Rp 110,9 triliun. Penurunan ini berpotensi menghambat pembangunan jalan dan penanganan bencana.
“Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas program prioritas pemerintah jika sektor infrastruktur dan transportasi tidak mendapat perhatian yang memadai,” ujar Djoko.
Djoko mengingatkan, buruknya infrastruktur dapat memicu inflasi, menekan pertumbuhan ekonomi daerah, dan bahkan meningkatkan angka kemiskinan.
Sebagai solusi, Djoko menyarankan agar subsidi transportasi dialihkan ke Kementerian Keuangan untuk pengelolaan yang lebih efektif. Selain itu, sebagian anggaran subsidi BBM sebaiknya digunakan untuk mendukung transportasi umum, mengingat 93% subsidi BBM saat ini lebih dinikmati oleh pemilik kendaraan pribadi.
“Transportasi umum terbukti berperan penting dalam pengentasan kemiskinan, karena biaya transportasi dapat menyerap hingga 40% pengeluaran bulanan masyarakat,” terang Djoko.
Ia juga menyoroti keberhasilan program Teman Bus yang telah membantu masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan, buruh, lansia, dan penyandang disabilitas, untuk beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum yang lebih terjangkau.