DKPP Siap Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Pilkada Mulai 14 Januari 2025
Ketua DKPP Heddy Lugito-FOTO DKPP -
Namun, ia menyayangkan adanya pengkhianatan terhadap proses ini akibat ketidaknetralan penyelenggara Pemilu.
“Pemilu dan Pilkada adalah sebuah ritual yang harus dihormati, tetapi sangat ironis jika ritual ini dikhianati oleh penyelenggara yang tidak netral dan independen. Ini adalah dosa besar dan tidak boleh terjadi,” ungkapnya.
Meski demikian, Heddy memberikan apresiasi tinggi kepada KPU yang berhasil menyelenggarakan dua pemilihan umum, yakni Pemilu dan Pilkada, pada tahun yang sama.
“Saya sangat takjub dengan kinerja teman-teman semua. Tidak ada negara lain yang bisa menyelenggarakan dua pemilihan umum dalam setahun. Bahkan di Amerika pun tidak ada. KPU kita luar biasa,” ujarnya, disambut tepuk tangan oleh ribuan hadirin.
Diketahui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sepanjang 2024 telah menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada 66 penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang terbukti melakukan pelanggaran.
’’Sebanyak 66 orang diberhentikan tetap, baik dari penyelenggara pusat maupun daerah,” kata Ketua DKPP Heddy Lugito saat konferensi pers Laporan Kinerja DKPP Tahun 2024 di Yogyakarta, Jumat (14/12).
Heddy menjelaskan bahwa mayoritas sanksi pemberhentian tetap diberikan kepada penyelenggara pemilu yang tidak memenuhi syarat sebagai penyelenggara, seperti masih menjadi anggota partai politik namun terdaftar di KPU.
“Itu yang paling banyak, mereka biasanya berkaitan dengan seleksi. Mereka masih anggota partai politik, tetapi ternyata menjadi anggota KPU,” ungkap Heddy.
Selain itu, sejumlah penyelenggara diberhentikan tetap karena terbukti mengubah hasil pemilu dengan menggeser perolehan suara. Heddy menyayangkan masih adanya oknum KPU dan Bawaslu yang terlibat dalam kecurangan tersebut.
“Ini menjadi perhatian kita semua bahwa masih ada penyelenggara pemilu yang menggadaikan integritasnya dengan menggeser suara,” kata Heddy.
Penyelenggara lainnya juga dijatuhi sanksi pemberhentian tetap akibat terlibat dalam kasus asusila atau suap. Menurut Heddy, kasus asusila dan suap biasanya terjadi saat tahapan pemilu tengah sibuk, seperti saat penghitungan suara atau bahkan dijanjikan sebelumnya.
“Suap terjadi saat penghitungan suara atau bahkan sebelum penghitungan. Ini yang paling banyak,” jelas Heddy.
Selain pemberhentian tetap, terdapat pula 15 penyelenggara pemilu yang hanya diberhentikan dari jabatannya, namun tetap bertugas sebagai anggota, seperti kasus Ketua KPU Jawa Barat yang diberhentikan sebagai ketua, namun tetap menjadi anggota KPU. (ant/c1/abd)