Tantangan Internalisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama

Ilustrasi tantangan internalisasi nilai-nilai moderasi beragama.-ilustrasi MAULANA PAMUJI GUSTI/HARIAN DISWAY -

Oleh: Biyanto*

HARUS diakui bahwa moderasi dalam beragama (wasathiyah) merupakan terma yang paling banyak diperbincangkan hingga kini. Moderasi beragama dipandang sebagai ikhtiar terbaik untuk mengonter radikalisme dalam berbagai bentuknya. 

Di dunia pendidikan tinggi, kini hampir semua kampus menjadikan moderasi beragama sebagai program prioritas. Bahkan, kampus-kampus di bawah pengelolaan Kementerian Agama (Kemenag) menjadikan program moderasi beragama sebagai ”ikon”. 

Seperangkat daya dukung pun diadakan untuk menopang program moderasi. 

BACA JUGA:Dorong Perusahaan Terapkan Sekala Upah

Bukan hanya dunia kampus, moderasi beragama telah menjadi program lintas kementerian di pemerintahan. Demikian pula dengan TNI dan Polri. Sebagai institusi penting penjaga keamanan negeri, keduanya menjadikan moderasi beragama sebagai concern dari level pusat hingga pelosok. 

Dalam suatu kesempatan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan bahwa moderasi beragama merupakan salah satu formula untuk menekan paham-paham radikal dan intoleransi dengan cara soft approach. 

Pemahaman tentang moderasi beragama jauh lebih bermanfaat daripada melakukan pendekatan-pendekatan yang bersifat hard (keras).

DERADIKALISASI VERSUS MODERASI

Seiring dengan menguatkan moderasi sebagai alternatif untuk melawan radikalisme dan terorisme, kritik dari berbagai kalangan terhadap program deradikalisasi makin nyaring terdengar. 

Dalam media resmi di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), deradikalisasi dimaknai sebagai usaha untuk mengubah ideologi, pemikiran, pemahaman, sikap, dan tindakan seseorang yang semula radikal menjadi tidak radikal. 

Strategi yang digunakan adalah melalui reedukasi, resosialisasi, dan penanaman nilai-nilai multikulturalisme.

Meski secara konseptual baik, dalam banyak kasus penanganan radikalisme dan terorisme, aparat keamanan sering kali menggunakan pendekatan kekuasaan dan kekerasan. Ironinya, tindakan kekerasan terhadap terduga teroris sering dilakukan aparat keamanan di depan keluarganya. 

Perlakuan itu pasti menghadirkan trauma mendalam, bahkan sangat mungkin dendam kesumat dari keluarga terduga teroris. Implementasi program deradikalisasi pun terkesan abai dengan nilai-nilai kemanusiaan.  

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan