RAHMAT MIRZANI

Transformasi Pendidikan Indonesia: Integrasi AI dalam Pendidikan

-FOTO IST-

Ia tidak hanya dihadapi Indonesia. Sebuah survei di Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa dari 54 jam kerja guru di AS selama seminggu, hanya 46 persen dari waktu tersebut yang terpakai untuk mengajar. 

Sisanya adalah mengerjakan tugas-tugas administratif (WEF, 2024). Demikian halnya juga terjadi pada rata-rata negara OECD.

Integrasi AI dalam dunia pendidikan bukanlah memanfaatkan AI secara sederhana saja. Melainkan, memanfaatkannya pada proses-proses yang menjadi bagian dari rantai pendidikan, dengan kebutuhan akhirnya mengurangi beban tenaga pendidik. 

Dengan demikian, tenaga pendidik mempunyai waktu dan energi untuk fokus pada interaksi pembelajaran dengan masing-masing muridnya. Sebab, satu hal yang pasti: AI sudah hadir dan dengan sangat cepat terus berkembang. Dan, ia mungkin akan menetap. Mengintegrasikannya, termasuk dalam sektor pendidikan, bisa jadi adalah keniscayaan tak terhindarkan. 

Menilik laporan yang diterbitkan World Economic Forum, 2024, tercatat empat potensi signifikan pemanfaatan AI untuk menangani disrupsi teknologi di sektor pendidikan. 

Pertama, untuk mendukung peran guru, khususnya mengurangi beban pada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya rutin atau berulang. Data statistik menunjukkan, 20 persen tugas guru digunakan untuk tugas yang bersifat klerikal dan administratif seperti mengurusi absensi, pendaftaran, dan input data. Aktivitas semacam itu bisa diotomasi dengan memanfaatkan AI. 

Kedua, membantu asesmen dan analisis dalam pelaksanaan pendidikan. Melakukan analisis pada proses evaluasi dan asesmen juga menyita waktu tenaga pendidik. AI bisa diprogram melakukan analisis asesmen dan evaluasi dengan definisi proses dan variabel asesmen dan evaluasi yang dibuat oleh tenaga pendidik.

Lebih jauh, apabila AI diimplementasikan dari awal pembelajaran, adopsi gamifikasi bisa dipertimbangkan. Dengan demikian, AI juga secara otomatis mengumpulkan data progres anak didik. Metode itu bisa menggantikan asesmen konvensional menjadi asesmen dinamis dengan analisis real-time. 

Ketiga, mengenalkan literasi digital dan AI, di mana literasi itu lebih dari sekadar mampu menggunakan teknologi digital dan AI. Melainkan, ia harus mampu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, mengembangkan kreativitas dengan tetap menyadari sepenuhnya masalah etis dan pengaruh negatif yang ditimbulkannya. 

Mengintegrasikan AI di dunia pendidikan tidak hanya menggunakannya, tetapi juga mengedukasi pemangku kepentingan tentang konsep AI dan pengaruhnya secara sosial kemasyarakatan. 

Keempat, materi/bahan ajar dan pengalaman belajar yang bisa dipersonalisasi. Kemampuan AI dalam merekam data, mengolahnya dengan metode dan parameter yang ditetapkan, dan melakukan analisis memungkinkan AI untuk memberikan umpan balik mengenai progres masing-masing anak didik. 

Ia mampu memberikan informasi berharga mengenai kelebihan dan kekurangan masing-masing anak didik. Informasi itu memungkinkan guru untuk menyesuaikan bahan dan pengalaman ajar yang unik untuk masing-masing anak, yang dengan bantuan AI pula, bisa diotomasi dengan cepat. 

TANTANGAN INTEGRASI AI

Pemaparan mengenai peran AI mungkin memberikan kesan robotik pada proses belajar mengajar. Tetapi, peran dan kehadiran guru mustahil dan tidak akan digantikan oleh robot. Tetapi, AI bisa merobotisasi sebagian tugas guru dengan menyiapkan rencana dan materi pembelajaran, memberikan saran bagi proses pembelajaran, atau melakukan asesmen (UNESCO, 2023).

Namun, implementasi dan integrasi tersebut juga tidaklah mudah. Banyak tantangan yang dihadapi. Kesenjangan, disparitas, dan keterbatasan infrastruktur digital, misalnya. Keterbatasan dalam AI itu sendiri juga adalah tantangan tersendiri. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan