Di Balik Air Terjun

Jumat 03 May 2024 - 21:43 WIB
Reporter : Rizky Panchanov
Editor : Rizky Panchanov

Saat itu aku hanyalah anak kecil bodoh yang takut kehilangan teman satu-satunya. Yang kutahu saat itu adalah, Haru tidak mau lagi bertemu denganku. Aku benci Haru.

_

Di usiaku yang makin bertambah, aku mulai mengerti beberapa hal tentang Haru. Dia tinggal di sebuah negara yang sangat jauh dariku tepatnya di Jepang. Haru bisa memahami bahasaku dan bisa berbicara bahasaku. Dia hidup di zaman yang sangat jauh dariku.

Gempa yang dia ceritakan padaku dulu, sungguhan terjadi di Jepang tepatnya 1 September tahun 1923. Haru yang malang itu hanyalah bocah biasa yang kehilangan semua keluarganya akibat bencana gempa bumi dan tsunami. Dia hidup sebatang kara sejak gempa itu dan memperoleh makanan dari belas kasihan orang-orang.

Satu hal yang pasti, aku tidak benar-benar membenci Haru, justru sekarang aku sangat merindukannya. Dua belas tahun lamanya membuatku jadi rindu anak tengil itu. Jika dia masih hidup sampai sekarang, pasti Haru sudah sangat tua dan keriput. Aku tertawa dan miris membayangkannya.

Sehingga pada hari ini kuputuskan untuk ke rumah lamaku sendirian. Tanpa sepengetahuan mama dan papa tentunya. Aku sudah siap untuk segala kemungkinan yang akan terjadi. Aku juga sudah meninggalkan sepucuk surat jika aku tak kembali.

Bus yang aku tumpangi sudah tiba pada tujuanku. Telapak tanganku tiba-tiba terasa dingin. Aku sungguh gugup saat ini. Rumahnya masih tampak sama. Bercat hijau lumut dan bunga-bunga di halaman juga masih tampak segar. Apa air terjun dua belas tahun lalu itu juga masih ada?

Dengan gugup, kubuka pintu rumah dan terus berjalan menuju dapur. Sampailah aku di depan pintu belakang yang akan langsung menampakkan air terjun itu. Kuharap aku masih bisa bertemu Haru.

Benar. Aku masih bisa bertemu Haru karena air terjunnya masih di sana. Airnya masih sama jernihnya seperti sepuluh tahun lalu. Ikan-ikan kecil itu seolah menyapaku yang mulai melangkahkan kaki ke dalam sungai.

Aliran air yang dingin mulai menyapa wajahku. Tapi begitu aku keluar dari akar pohon, tubuhku mendadak kering seketika. Kuedarkan pandangan ke sekeliling dan kudapati banyak sekali perbedaan di tempat ini. Pohon wisteria ini memang masih sama, tapi tidak dengan bangunan-bangunan baru dan jumlah penduduk yang bertambah banyak. Haru? Kemana dia? Sudahkah dia pindah dari tempat ini?

Aku tidak tahu di mana Haru berada dan tidak berniat mencarinya. Jepang itu luas. Dia bisa ada di mana saja. Aku juga tidak ingin tampak mencolok di antara penduduk di sini. Jadi, kuputuskan untuk duduk di bawah pohon dan mengambil beberapa gambar dengan ponselku. Saat aku kembali nanti, mungkin bisa kutunjukkan foto-foto ini pada Damar. Iya, Damar mengikutiku dan satu sekolah denganku di Sekolah Menengah Atas di kota. Damar bilang, dia menyukaiku. Tentu aku tidak balik menyukainya. Secuil hatiku masih tertinggal di tempat ini.

“Hei,” suara berat khas remaja laki-laki yang puber mengagetkanku. “Siapa bilang kamu boleh mengambil gambar seenaknya di sini dengan benda gepeng itu?”

Haru. Benar dia. Dia datang.

“Haru ... Ini sungguhan kamu? Kamu tampak ....”

“Ganteng.”

Seketika aku ingin menyeburkan diri ke dalam kolam bekas mujair kakek. Aku merasa seperti Upik Abu yang bertemu pangeran. Manusia di depanku ini sungguhan anak tengil berdebu itu?

Kategori :