Aku langsung disambut dengan wajah tengil Haru yang tertidur berbantalkan akar pohon. Biar begitu, dia kelihatan agak ... manis.
“Dor!”
Haru masih merem. Dor kedua, Haru masih pulas. Dor ketiga, aku menyerah. Kuputuskan untuk duduk di sampingnya dan mengeluarkan isi tasku sambil menunggunya bangun. Aku berniat menggambar pemandangan di hadapanku. Tepat ketika gambarku selesai, Haru akhirnya terbangun.
“Hei,” panggilnya. “Aku nggak tidur, sebenarnya. Cuma pura-pura.” aku Haru yang membuatku kesal.
“Apa tujuanmu begitu, huh?” Haru hanya geleng-geleng menanggapi dan sibuk menggeledah buku tulisku yang lain.
“Jadi, sekarang di tempatmu sudah tahun 2010?” Haru tampak sangat takjub.
Aku mengangguk sambil memakan apel sisa bekal sekolahku. “Memang di sini tahun berapa?”
“Aku sudah tak ingat sekarang tahun berapa. Tapi aku ingat dengan jelas kalau bencana itu terjadi tahun 1923.”
Aku ternganga mendengarnya. Jadi, ini artinya aku kembali ke masa lalu. Ini sangat tidak masuk akal untukku yang saat itu masih tujuh tahun.
“Semi, jangan sering-sering ke sini,” wajah Haru berubah sendu. “Apalagi mencoba memberi tahu orang lain tentang tempat ini.”
“Kenapa?”
“Kamu nggak akan tahu kapan portal itu tertutup dan hilang. Akan bagus jika hilang saat kamu berada di duniamu. Tapi saat kamu di sini? Itu bukan hal baik. Kamu hidup di tahun 2000-an. Itu artinya kamu dari masa depan. Dan kamu bisa terjebak di masa lalu denganku di sini. Bagaimana dengan sekolahmu nanti? Bagaimana dengan ayah ibumu? Pikirkan itu dan tinggalkan aku ...
“Kamu berbeda dengan kami di sini, Sem. Lihat penampilanmu, kamu jauh lebih keren daripada aku. Dulu, aku juga sekolah. Tapi, seragamku tidak sebagus kamu. Aku juga tidak menulis dan menggambar di atas kertas seperti yang kamu genggam,” Haru menundukkan kepalanya. “Aku senang bisa berkenalan denganmu, tapi ....”
Kumasukkan buku-bukuku ke dalam tas dengan cepat. Lalu segera kutinggalkan tempat itu. Tak peduli dengan air mataku yang merembes keluar. Aku lari dengan terisak. Ucapan Haru membuatku sedih bukan main.
Kutarik ujung baju mama sambil menangis. Mama baru pulang dari pasar dan sibuk memindahkan sayur-mayur ke dalam kulkas. “Mama, ayo pulang,” rengekku. “Pulang ke rumah kita yang dulu.”
Dan akhirnya, dengan segala pertimbangan kami pun pindah dari sana. Aku yang waktu itu berusia tujuh tahun, begitu memaksakan kehendak dengan mengancam tidak akan makan dan minum yang berujung aku jatuh sakit selama berhari-hari.