Di Balik Air Terjun

Jumat 03 May 2024 - 21:43 WIB
Reporter : Rizky Panchanov
Editor : Rizky Panchanov

KARYA: LULUK ROHMATUL ULYA

Mama selalu heran melihatku basah kuyup tiap kali selesai main di belakang rumah. Waktu itu usiaku lima tahun, tapi aku ingat dengan jelas kalau aku bertemu dengannya di sana. Di belakang rumah sederhana peninggalan almarhum kakek dan nenek.

Aku masuk melalui celah-celah air, dan tahu-tahu, aku muncul dari lubang di akar sebuah pohon dengan pemandangan yang menakjubkan.

Mama terus bertanya-tanya, bagaimana bisa aku selalu basah kuyup tanpa mengeluarkan bau apapun. Mengingat, tempat berisi air di belakang rumah hanyalah got dan kolam bekas ikan mujair kakek yang sudah lama tidak dikuras. Bau kolamnya bahkan melampaui got.

“Kamu habis dari mana, Sem?”

BACA JUGA: GABY

Mama begitu panik dan khawatir setelah aku melakukan siklus main-pulang-basah setiap hari. Saat itu aku hanya menunjuk-nunjuk halaman belakang rumah sembari berkata, “Mama nggak liat ada sungai dan air terjun di sana?”

Sebagai sosok ibu yang selalu berpikir rasional, mama terus menganggap aku hanya membual. Air terjun dan sungai yang kubilang hanyalah imajinasi semata baginya. Sampai suatu hari, aku berinisiatif untuk menyeret bukti nyata akan adanya air terjun di belakang rumah.

Dialah Haru. Anak laki-laki yang kutemui di balik air terjun. Tubuhnya pucat, matanya agak sipit, dan rambutnya mirip duri landak. Tapi Haru selalu menolak ajakanku. Dia terus-terusan berkata, “Aku nggak bisa masuk ke duniamu, Sem.”

Untuk ukuran anak kecil yang seumuran denganku, Haru tampak lebih dewasa dengan kata-kata layaknya orang dewasa pula. Pertama kali bertemu dengannya, dia sedang duduk-duduk di bawah pohon wisteria—pohon yang akarnya memunculkanku—sambil memandangi bunga merah muda di tangannya yang disebutnya tsubaki. Pohon ini memiliki bunga berwarna ungu yang tumbuh menjuntai ke bawah seperti tirai. Benar-benar cantik, batinku.

Pakaian Haru jauh berbeda denganku yang saat itu memakai gaun rumahan bermotif polkadot warna merah. Dia hanya memakai jubah lusuh dan celana yang tak kalah lusuhnya. Satu hal lagi, tudung  warna coklatnya yang sudah memudar dan berdebu. Anak ini pasti sudah lama tidak mandi.

“Kamu sudah berapa hari nggak mandi?” kalimat pertama yang kutujukan alih-alih bertanya siapa namanya, sukses membuatnya menatapku aneh.

“Aku nggak butuh mandi, bisa hidup saja aku sudah senang,” tutur Haru. “Omong-omong, kamu siapa? Pakaianmu aneh dan wajahmu asing. Kamu pasti bukan orang sini.”

“Namaku Semi. Aku memang nggak berasal dari sini. Tapi aku berasal dari sana,” aku menunjuk lubang pada akar pohon ini. “Kenapa kamu bilang hidup saja sudah senang?” tanyaku polos.

“Dari akar? Kamu lucu, Sem,” mukaku memerah seketika. “Mau dengar ceritaku? Ini cukup panjang,” tawar anak itu. Tentu aku langsung mengangguk antusias.

Kategori :