Saat dikonfirmasi, Ustadz Salam selaku salah satu pengasuh pondok, membenarkan terkait keberadaan santrinya yang sedikit. Menurutnya total santriwan dan santriwati berikut guru pengabdian hanya 50. Yaitu 35 di antaranya santriwati termasuk guru pengabdian dan 14 santri putra untuk jenjang MTs dan MA.
Jumlah tersebut dikatakannya merupakan santri atau pelajar yang secara full bermukim di dalam kompleks pesantren. Sementara untuk pelajar yang bersekolah dengan status tidak mukim tidak diketahuinya dengan pasti.
Memastikan hal tersebut, Radar Lampung kemudian mencoba bertanya kepada Ustadz Supriyadi Yusuf selalu Kepala MA. Sayangnya, pertanyaan yang bersangkutan belum preseponsnya.
Pun saat Radar Lampung mencoba mengonfirmasinya kepada Kepala KMI Darussalam, Ustadz Muhajid, justru diarahkannya kepada kepala MA dan MTs.
Penasaran, Radar Lampung kemudian menjumpai beberapa santri yang saat sedang berada di kamarnya pada siang hari. Mereka menyebut bahwa untuk tingkat MTs dan MA seluruhnya hanya menggunakan 6 lokal. Lokal paling sedikit terdapat 17 anak baik santri yang mukim maupun yang pulang.
Sementara, lokal terbanyak disebutkannya ada sekitar 27 anak. "Paling banyak itu kelas 3 (MTs) 17 orang, paling dikit kelas 4 (1 MA) 27 orang," katanya tanpa memberitahukan nama.
Guna mencari inforamsi terkait keterpurukan yang dialami Ponpes Darussalam, Radar Lampung meminta tanggapan dari beberapa alumni pondok tersebut. Beberapa alumni yang sempat dimintai tanggapannya pun sepakat bahwa kemunduran yang terjadi di Ponpes Darussalam karena manajemen.
Salah satunya Dr. As'ad Muzzammil yang mengaku sangat menyayangkan kondisi ponpesnya tersebut kini. Ia sendiri bersama beberapa laumni senior lainnya telah beberapa kali mencoba mengembalikan kondisi Ponpes Darussalam seperti dahulu kala. Upaya-upaya itu dikatakannya dilakukan melalui beberapa kegiatan yang dibentuk secara serius.
"Kita kan sudah tiga kali itu. Pertama tahun 2010, lalu 2017 dan terakhir pada Februari 2024 ini," katanya.
Upaya itu dilakukan alumni mulai dari segi promosi, menyumbang dana untuk biaya santri, hingga membentuk badan wakaf. Namun pada kenyataannya, setelah hampir selama 14 tahun diusahakan masih juga belum menghasilkan perubahan demi kemajuan.
"Padahal, pondok (Darussalam) ini kan tetap pondasi penting bagi alumni-alumni yang pernah mengenyam pendidikan di sana. Untuk itulah, kita para alumni menaruh perhatian serius," jelasnya.
Sehingga, ia menilai sangat disayangkan jika keberadaan Darussalam akan menghilang jika tetap dengan tata cara pengelolaan yang ada saat ini. Dimana, pengelolaan Darussalam saat ini dikatakannya dikuasai keluarga pendiri pondok. "Problemnya, bola itu kan sebenarnya ada di keluarga, di pondok itu sendiri," jelasnya.
Tembok besar berupa keluarga itulah yang dinilai As'ad sebagai penghalang terbesar Darussalam untuk dikelola secara profesional. "Jadi peran keluarga walau tidak mendominasi tetap ada, dan itu bagian dari yang menyulitkan alumni untuk betul-betul total membesarkan pondok," ungkapnya.
Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua KPU Kota Bandarlampung dan Wakil Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung ini berharap upaya yang sedang dilakukan dengan membentuk badan wakaf alumni saat ini dapat membawa perubahan. "Kita lihat trennya pada Juli mendatang," tutupnya.
Alumni lainnya, Zahral Mutzaini, juga berpandangan yang sama dengan apa yang diutarakan oleh As'ad. Ia menilai setidaknya terdapat dua faktor utama penyebab keterpurukan Darussalam. Yaitu karena kekurangan dalam hal pembiayaan serta pengelolaan yang cenderung atau diyakini sangat tidak profesional.
Hal tersebut berkaca pada beberapa tenaga pendidik yang sebelumnya ada di Darussalam dan memilih keluar dengan mendirikan pesantrennya sendiri. "Terbukti, ustadz kita dulu keluar, bangun pesantren di jambi maju dan berkembang. Begitu juga dengan beberapa ustadz lainnya. Lah ini kok Darussalam sebagai induk malah gini," terangnya.