Aku meminta Sekar untuk membawaku berkeliling. Sore itu perasaanku bercampur aduk, antara bahagia dan gelisah. Aku bahagia karena dia berada di dekatku lagi. Aku gelisah karena membayangkan masa depanku. Di depan sungai taman rumah sakit, aku meminta Sekar untuk berhenti sebentar. Aku menarik napas panjang dan mulai bertanya kepada Sekar.
“Kalau aku hilang dari dunia ini, aku bakal pergi ke mana ya?”
Sekar hanya diam, lalu duduk di sebelah kursi rodaku. Aku menceritakan apa yang kudengar tadi pagi. Terlihat raut wajah Sekar yang berbeda. Air matanya menetes. Ia menatapku dengan mata merah penuh air mata. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Sekar berdiri dan mendorong kursi rodaku kembali ke dalam rumah sakit.
Di rumah sakit aku tak mampu membendung emosiku. Air mataku terus-menerus menetes. Aku bahkan tak sanggup untuk menatap Sekar lagi dan membalikkan badanku darinya. Sekar berjalan mendekatiku. Tangannya yang halus dan lembut menyentuh tanganku. Terdengar kalimat I love you dari mulutnya. Suaranya begitu merdu dan sayup. Ia mengelus-elus kepalaku dengan tangisannya yang terisak-isak. Ketika aku setengah terlelap oleh perasaanku ini, perlahan-lahan isak tangisnya hilang. Ia mulai beranjak dari tempatnya dan mulai pergi meninggalkanku. Ketika aku sadar sepenuhnya, ada secarik kertas di bawah pot bunga di meja sebelahku. Ia menuliskan kalimat-kalimat untuk menyemangatiku. Ia membuatku bernostalgia tentang awal pertemuanku dengannya. Ia juga menjelaskan mengapa ia lari saat kupanggil di sekolah waktu itu. Di bawahnya terdapat pesan yang menuliskan bahwa ia akan terus datang untuk menemuiku.
Setiap malam di sela-sela tidurku, aku selalu teringat oleh kisah hidupku yang begitu rumit, tetapi membahagiakan. Dengan perasaan yang bercampur aduk ini, akhirnya aku memutuskan untuk tetap melanjutkan hidupku dengan sabar dan ikhlas, terlebih aku harus terlihat kuat di depan Doni dan Sullivan yang tidak tahu-menahu tentang sakitku ini.(*)