Amora diam tak menjawab pertanyaan dari Dokter El.
"Mor?" Dokter El kembali bertanya sambil melambaikan tangannya di depan Amora.
"Belum ..." jawab Amora pelan dengan tatapan kosong.
Dokter El membuang napasnya dengan kasar.
"Obat minggu lalu masih ada?"
Amora menggeleng, masih enggan untuk sekadar mengeluarkan suara dan mengangkat kepala.
"Ini obatnya saya kasih lagi, ya," ujar Dokter El sambari menuliskan resep obat. "Tiga hari ke depan kamu bisa kembali lagi ke sini untuk terapi."
"Iya.." ucap Amora singkat. "Terima kasih ya, Dok. Kalau begitu, saya pamit pulang," Amora pamit sembari menjabat tangan Dokter El.
Dokter El menatap kepergian Amora dengan perasaan yang curiga. Pasalnya obat yang beberapa minggu lalu ia berikan sudah habis. Dokter El biasanya akan memberikan resep obat antipsikotik dan antitremor dengan dosis yang rendah. Obat yang ia berikan akan bekerja dengan cara menghambat efek dopamin dan serotonin di dalam otak.
Setelah selesai mengambil obat, Amora langsung pulang. Perjalanan menuju ke rumah Amora hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit bila berjalan kaki.
Jalanan masih terbilang ramai oleh pengendara yang berseliweran. Namun, di tengah perjalanan ia melihat seorang laki-laki berkemeja putih dengan ponsel di tangannya.
Seluruh badan Amora gemetar. Ia langsung mendapat panic attack. Panic attack adalah salah satu gangguan kecemasan.
Amora kelimpungan saat ingin menghindar dari laki-laki tersebut. Ia ingin mengambil jalur lain untuk pulang, tetapi tak sengaja ia menabrak seorang perempuan.
Seluruh kertas berhamburan. Orang yang ditabrak oleh Amora terjatuh.
"Kamu, kalau jalan pakai mata dong!" bentak perempuan itu yang mulai merapikan kertas-kertasnya.
Amora semakin panik. "Maaf, Bu, saya enggak sengaja," ucap Amora sambil ikut mengumpulkan kertas-kertas tersebut.