Keprihatinan terhadap kesalahan persepsi aparat penegak hukum dan kriminalisasi terhadap proses dan pengelolaan PI 10% ini juga pernah diutarakan oleh Sekjend Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET), Dr. Andang Bachtiar yang menyatakan bahwa akan menyebabkan Pemerintah Daerah dan BUMD merasa was-was, dibayang-bayangi dengan potensi adanya kasus hukum, dan ketakutan akan dikriminalisasi, sehingga menghambat daerah untuk turut serta dalam bisnis migas.
Senada dengan Andang, Riki menambahkan bahwa jika persepsi yang dipakai Kejaksaan dijadikan role model, maka ini bukan role model, tapi ini disaster model.
"Karena semua BUMD PI berpotensi ikut terseret, dan 70-an daerah yang sedang proses PI 10% akan terhenti. Investor migas pun kehilangan kepastian hukum,” ujar Riki.
Riki menegaskan bahwa tata kelola PI 10% telah memiliki standar yang sama di seluruh Indonesia, seperti pendapatan PI diterima BUMD sebagai corporate revenue, dipakai untuk operasional melalui RKAP, ditetapkan dividen melalui RUPS, dan kemudian menjadi pendapatan daerah sesuai PP 54/2017.
BACA JUGA:Delegasi Jepang Tinjau Kelas Migran Vokasi Lampung
Tidak ada satu pun aturan yang menyebut pendapatan PI sebagai “uang negara langsung” atau “dana publik” yang tidak boleh dipakai untuk operasional.
“Kalau versi Kejaksaan yang diikuti, maka Permen ESDM 37/2016 otomatis tidak dapat dijalankan. SKK Migas, Kementerian ESDM, Kemenkeu, BPKP, dan seluruh BUMD PI yang telah lama bekerja dianggap salah semua. Masa penegak hukum ingin menyimpulkan bahwa semua pihak itu tidak paham aturan?” ujar Riki.
Ia menambahkan, jika Kejaksaan ingin membuat role model, maka model yang benar adalah memastikan proses penyidikan PT LEB dihentikan, karena seluruh prosesnya mengikuti aturan migas nasional dan peraturan korporasi negara.
“Role model adalah ketika BUMD menjalankan PI sesuai aturan, diaudit, RUPS menetapkan dividen, daerah menerima PAD ratusan miliar, dan tidak ada satu rupiah pun yang hilang. Jika itu malah dikriminalkan, berarti yang sedang diuji bukan PT LEB, tetapi kewarasan logika hukum kita sendiri,” pungkas Riki. (*)