Karena itu, kata alumni Pondok Pesantren Darussalam Lampung ini, tema penguatan kelembagaan dianggapnya sangat relevan untuk memastikan pesantren tetap menjadi pusat peradaban ilmu yang otoritatif dan berpengaruh. Ia menegaskan bahwa hubungan pesantren dan kampus bukanlah hubungan subordinatif, melainkan simbiosis yang saling membutuhkan.
’’Kampus membutuhkan kebijaksanaan, kearifan lokal, dan jaringan ulama pesantren. Pesantren membutuhkan metodologi riset dan pendekatan ilmiah dari perguruan tinggi,” jelas Prof. Wan.
Prof. Wan menjelaskan bahwa penguatan kelembagaan tidak bisa parsial atau jangka pendek.
Prof. Wan menegaskan perlunya desain besar yang menggabungkan kekuatan tradisi dan inovasi sebagaimana dilakukan UIN RIL sejak transformasi dari IAIN menjadi UIN pada 2017.UIN RIL kini memiliki salah satu jumlah guru besar terbanyak di PTKIN se-Sumatera. Digitalisasi dan peningkatan SDM, menurutnya, adalah kebutuhan yang juga harus diadopsi pesantren.
Prof. Wan juga mencontohkan kerja sama UIN RIL dengan Pemkot Bandarlampung yang menghasilkan pembangunan klinik kampus yang sedang disiapkan menjadi rumah sakit lima lantai dan hibah tanah 50 hektare dari Pemerintah Provinsi Lampung di Kotabaru.
’’Pesantren pun tidak boleh menutup diri. Harus berkolaborasi dengan pemerintah daerah. Kita berharap hal serupa juga terjadi di dunia pesantren di tanah Lampung,” ujar Prof. Wan.
Prof. Wan menekankan bahwa pesantren memiliki warisan kitab turats yang sangat kaya, namun relevansi kitab kuning harus dikuatkan melalui metode pembacaan yang tepat.
’’Santri harus tidak hanya menghafal dan memahami teks, tapi juga mengontekstualisasikan dengan realitas kekinian. Perguruan tinggi bisa hadir menawarkan metode kajian baru,” jelas Prof. Wan.
Prof. Wan juga menyampaikan bahwa banyak mahasiswa S-1 maupun S-2 dan S-3 UIN RIL berasal dari pesantren. Menurutnya, ini harus menjadi perhatian bersama agar makin banyak santri dapat melanjutkan studi dan menguatkan kapasitas diri.