Prof. Wan menyebut kutipan buku The History of Islamic Civilization yang menjelaskan bahwa meski kekuasaan Islam runtuh, kekuatannya lahir kembali melalui lembaga-lembaga pendidikan yang otentik, termasuk pesantren, surau, dan majelis-majelis ulama.
Prof. Wan juga memaparkan bagaimana abad ke-13 melahirkan pusat-pusat peradaban Islam di berbagai wilayah, termasuk Nusantara, melalui jaringan para syekh dan guru tarekat. Ia menyebut Tarekat Sammaniyah di Palembang dan Lampung, Naqsyabandiyah di Tanah Jawa, Syadziliyah, hingga Watiah di Kalimantan dan Sulawesi.
Semua gerakan itu, menurut Prof. Wan, berbasis pada pendidikan pesantren yang bernuansa sufisme sekaligus menjadi kunci kekuatan yang melahirkan berbagai perlawanan besar dalam sejarah.
’’Inilah jawabannya kenapa ada Perang Diponegoro yang mengguncang dunia. Perlawanan itu lahir dari basis pesantren dan kekuatan tarekat,” tegas Prof. Wan.
Alumni doktoral Rusia ini menegaskan bahwa Lampung adalah salah satu wilayah yang memiliki sejarah kuat dalam perjuangan melalui pesantren. Ia menyebut peristiwa Agresi Militer Belanda 1947, saat bumi Lampung berhasil dipertahankan oleh para kiai dan santri.
Prof. Wan menceritakan perjuangan K.H. Ahmad Hanafiah dari Sukadana bersama Pasukan Golok yang menghadang Belanda di Muaraenim dan Baturaja agar tidak masuk ke Lampung. Pada agresi kedua 1949, perjuangan dipimpin oleh almarhum K.H. Muhammad Ghalib di Pringsewu.
’’Karena itu, berbicara pesantren itu saya katakan ‘gue banget’. Bicara tentang pesantren, jangan ragu-ragu ke Lampung. Lampung punya bukti sejarah tentang peran pesantren yang luar biasa dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia,” kata Prof. Wan.
Prof. Wan kembali memaparkan, pesantren memiliki dua kutub besar yaitu tradisi dan transformasi. Menurutnya, pesantren adalah jembatan yang mampu menghubungkan keduanya. Namun, jembatan itu harus diperkuat, diperluas, dan diperbaharui agar tetap kokoh menghadapi derasnya arus perubahan global.
’’Kita bisa menjadi profesor, doktor, dan pemimpin karena tradisi kuat itu. Namun, perubahan begitu cepat sehingga transformasi menjadi keniscayaan,” ujar Prof. Wan.