Sebagai tindak lanjut, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mengeluarkan surat Nomor: B-2218/TP.220/C/09/2025 tentang Kesepakatan Harga Ubi Kayu.
Surat tersebut juga mengatur tata niaga tepung tapioka dan tepung jagung sebagai komoditas Lartas (dilarang dan dibatasi), sehingga impor hanya dapat dilakukan jika kebutuhan dalam negeri tidak mencukupi.
Kesepakatan ini resmi berlaku mulai 9 September 2025 dan menjadi langkah konkret pemerintah dalam melindungi petani serta memperkuat ketahanan pangan berbasis komoditas lokal.
Sementara, sejumlah petani singkong di Way Kanan kembali menyuarakan keluhan terkait ketidakpatuhan sejumlah pabrik pengolahan singkong terhadap Surat Edaran Gubernur Lampung dan Surat Peringatan Bupati Way Kanan mengenai harga serta potongan singkong.
Petani dari wilayah Pakuan Ratu, Negara Batin, dan Negeri Besar mengaku masih menerima harga jual jauh di bawah standar.
Selain itu, mereka juga dirugikan oleh potongan (rafaksi) yang dianggap tidak transparan dan sistem buka-tutup pabrik yang menyulitkan penjualan hasil panen.
“Di beberapa pabrik harga singkong masih rendah, tidak sesuai surat edaran Gubernur. Kami sangat dirugikan,” ujar Nasir, petani asal Pakuan Ratu, Rabu (10/9/2025).
Keluhan serupa disampaikan Hery, petani lainnya, yang menyoroti potongan timbangan hingga 40 persen tanpa perhitungan jelas.
“Alasannya kadang kadar air tinggi, kadang singkong kotor. Tidak ada transparansi bagaimana cara menghitung potongan itu,” keluhnya.
Selain harga dan potongan, sistem buka-tutup pabrik juga menambah beban petani. Mereka kerap membawa hasil panen ke pabrik, namun ternyata pabrik tutup tanpa pemberitahuan.
Kondisi ini membuat petani harus menanggung biaya transportasi tambahan dan menjual singkong ke pembeli lain dengan harga lebih murah.
Menanggapi keluhan itu, Ko Pimping, Manajer CV Gajah Mada Inter Nusa, mengaku pihaknya menutup pabrik sejak Rabu 9 September 2025.
Ia menyebut alasan utama adalah tuntutan petani agar pabrik hanya memotong 30 persen tanpa pengukuran kadar pati, sementara harga jual tapioka di pasar lokal masih rendah, hanya Rp4.600/kg.
“Kalau situasi ini tidak segera ada solusi dari pemerintah, banyak pabrik yang bisa tutup. Kami diminta beli singkong sesuai ketentuan, tapi harga jual tapioka dibiarkan jatuh. Pabrik juga butuh perhatian pemerintah,” jelasnya.
Hal senada disampaikan Budi Pranata Jati, Manajer PT Agung Mulia Bunga Tapioka. Ia berharap ada upaya pemerintah untuk menstabilkan harga tapioka di pasar lokal agar petani dan pabrik sama-sama bisa bertahan.
“Kalau harga tapioka stabil, pabrik bisa membeli singkong lebih tinggi. Jadi kedua belah pihak, petani dan pabrik, sama-sama diuntungkan,” ujarnya.