Oleh: Isbedy Stiawan Z.S. - Sastrawan
SATU cerpen karya Shalwa Petmata Tridanty di depan saya. Judulnya "Panda Kecil". Mulanya saya mengira penulis berkisah ihwal hewan bernama panda.
Dugaan saya meleset. Lalu, apa pasal penulis menggunakan nama hewan: panda? Boleh jadi, ini hanya simbol. Seni—dalam hal ini sastra—tak lepas dari simbol (lambang) itu.
Sebagai penulis—cerpenis—Shalwa sudah sangat baik. Ia paham prosa. Cara menarasikan cerita yang ia miliki menjadi narasi yang mengalir dan enak dibaca. Shalwa juga paham ejaan bahasa (EYD). Ini modal bagi yang ingin sukses sebagai penulis. Walaupun ada kesalahan ejaan, kesalahan tidak terlalu parah.
BACA JUGA:Kemudahan Pajak untuk UMKM Naik Kelas
Seperti sudah saya katakan, Shalwa tampak sudah terlatih menulis cerita pendek (cerpen). Ini terlihat caranya merangkai kata jadi kalimat yang condong kalimat pendek. Tiap alinea, ia memulainya begitu rapi. Bahkan, cara ia membuka paragraf pertama, berbeda sekali dengan penulis remaja yang kadang bertele-tele.
Misalnya, kelewahan ketika menarasikan tokoh (kau atau dia juga aku); berpanjang-panjang. Termasuk saat Shalwa menggambarkan langkah saat berjalan dengan dibumbui suara.
Ini alinea (paragraf) pembuka cerpen "Panda Kecil" yang menurut saya sudah baik (berhasil).
"Lea!"
Ethan namanya, lelaki dengan jaket yang selalu menempel di badan. Ia bukan sembarang orang. Siswa dengan prestasi terbaik? Anak petinggi sekolah? Miliki visual yang tampan? Iya, lebih dari kata sempurna. Entahlah, Lea juga heran. Kenapa anak ini ingin sekali berteman dengannya dan selalu mengekorinya seperti anak kecil. Padahal, Lea selalu bersikap acuh tak acuh padanya. "Iya, kenapa?" Singkatnya. "Lo kalo mau berisik mending sana deh. Gue lagi butuh ketenangan, Than." Galak Lea dengan mata kucingnya.